DAFTAR ISI

PANGAPORA

PANDHAPA

Pendidikan Angin-Anginan: En. Hidayat

PAMATOR

Surat Dari Pembaca

ARTIKEL TAMU

Guru Yang Tak Lagi Belajar Pada Sang Murid (Sebuah Obituari Pendidikan Indonesia) : Juslifar M.Junus

ARTIKEL UTAMA

1- Hermeneutika Cangkolang Dalam Proses Pendidikan Berbasis Moral : Maimun Syamsuddin

2- Mempertimbangkan Pendekatan Baru : Muhammad Bisyri

3- Pemanusiaan Anak, Revitalisasi Pendidikan Nilai Keluarga Di Tengah Arus Global Yang Mengikis Budaya Madura : Syaiful Rahman Dasuki

WAWANCARA

Muhammad Ridwan, BA : Pendidikan Kita Masih Nanggung....?

ARTIKEL LEPAS

1- Pendidikan Humaniora: Sebuah Model Pendidikan Sejati : Mudda’i

2- Melayani Kebutuhan Siswa Kelas Reguler Melalui Pengajaran Berbasis Kelas . Ngadi

KOLOM

1- Mewacanakan Muatan Lokal: D. Zawawi Imron

2- Sarung dan Cerita Tentang Lokalitas Yang (Di)tunduk(kan): A. Dardiri Zubairi

RESENSI

Membaca Kembali Dunia Pendidikan Yang Sembrawut: Ahmad Khotib

 

PANGAPORA

Salam….

Siapapun akan menyepakati bahwa arah pendidikan tiada lain untuk membentuk manusia-manusia utuh. Utuh maksudnya, manusia yang memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki tugas besar sebagai abdullah dan kholifah fil ardl. Inilah capaian fenomenal dari hakikat pendidikan yang sebenarnya. Menjadi manusia yang terdidik yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak heran kalau ada yang menyebut bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Yakni mengajari manusia untuk memahami hakikat dirinya sebagai manusia yang berbeda dengan binatang.

Dalam kerangka inilah, jelas arah pendidikan adalah untuk menjadi jembatan meraih predikat kemanusiaan, bukan kebinatangan yang menjauhi nilai-nilai moralitas. Kenyataan inilah, yang sejak beberapa tahun terakhir ini tengah terjadi dalam dunia pendidikan kita. Praktik-praktik amoral yang tidak boleh terjadi pada peserta didik telah menjadi bagian yang tidak dapat di tolak. Pendidikan kita tengah kehilangan nilai dan spirit moralitasnya. Inilah kita….?

Nilai-nilai moralitas yang menjadi kekuatan utama pendidikan, secara tidak langsung mengalami reduksi akibat potensi kebinatangan yang tidak berhasil dihilangkan selama proses pembelajaran. Pendidikan kita tidak ubahnya sebagai peternakan manusia yang tidak bermoral. Siapa yang mau disalahkan? Tidak ada yang harus disalahkan, kecuali kita harus menyadari bahwa apapun yang terjadi dengan pendidikan kita hari ini adalah karya kita sendiri, bukan karya orang lain. Kita yang harus bertanggung jawab dan harus malu dengan semuanya ; ketika generasi yang harus dididik malah menjadi tidak terdidik. Ketika generasi masa depan yang seharusnya dibesarkan dengan jati diri sebagai manusia, malah tampil dengan tanpa rasa malu, meninggalkan hakikat dirinya sebagai manusia. Bahkan, bukan hanya itu, generasi-generasi yang dihasilkan dalam pendidikan kita, juga telah mencoba melupakan semuanya, bukan hanya nilai-nilai moral, tetapi juga nilai-nilai lokalitas yang seharusnya mesti dipertahankan. Pendidikan kita pada gilirannya, lebih tepat disebut dengan pendidikan yang hanya mengajarkan anak didik untuk melawan tradisinya sendiri yang sebenarnya aslah dan melupakan jati dirinya.

Pada edisi ke-5 ini, EDUKASI mencoba menyajikan sebuah sajian yang setidaknya dapat membuka cakrawala kesadaran kita tentang dunia pendidikan, yaitu tentang Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Lokal”. Tema ini dipilih dengan niatan untuk mendorong kita semua agar membaca ulang kondisi pendidikan kita yang selama ini – secara perlahan – selalu dihebohkan dengan praktik-praktik amoral peserta didik serta memberikan gambaran ideal tentang bagaimana pendidikan yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai lokal dapat terwujud. Sehingga pendidikan bukan hanya akan menjadi pembunuh terhadap nilai-nilai lokal yang ada dan menggantinya dengan nilai-nilai yang tidak mendidik. Dengan kata lain, pendidikan seyogyanya harus mampu melahirkan kader-kader terdidik yang mengerti dengan nilai-nilai lokal dimana ia berada dengan tidak menafikan nilai-nilai baru yang bisa mengembangkan dirinya.

 

 

 Back To Daftar Isi

PANDHAPA

PENDIDIKAN ANGIN-ANGINAN

Oleh: En.Hidayat

 

Seorang pemuda yang karena berpendidikan rendah lalu dengan sadar memilih pekerjaan sebagai penjual es dawet, jauh lebih merdeka daripada seorang sarjana yang kemana-mana menenteng stopmap berisi lamaran kerja hanya karena malu melakukan pekerjaan lain diluar kantor.

-Ki Hajar Dewantara-

Jika pendidikan itu mencerdaskan, kenapa banyak siswa kita, banyak mahasiswa kita suka tawuran, hobi unjukrasa lalu diakhiri dengan tindakan anarkhis ?

Jika pendidikan itu untuk membuat insan yang berkemanusiaan dan berkeadilan, mengapa banyak produk pendidikan --terutama para pemegang kekuasaan publik-- justru berperilaku tidak manusiawi, tidak adil, sewenang-wenang, hanya mementingkan kebutuhan pribadi dan kelompoknya ?

Rasa-rasanya sulit untuk menemukan jawaban pertanyaan di atas. Paling tidak kesulitan itu muncul ketika akan mulai dari mana menjawabnya. Sebab memasuki dunia pendidikan kita, seakan masuk dalam sebuah labirin yang super panjang, super berliku, dan super ruwet.

Pendidikan adalah persoalan sekaligus jawaban yang super luar biasa terhadap kelangsungan hidup manusia.

Betapa tidak, jika kita meminjam terminologi agama, betapa Tuhan memulai wahyu pertama yang diberikan kepada manusia (baca : Muhammad Saw) dengan perintah iqra’ yang berarti membaca, belajar. Kemudian diuraikan dengan dua buah hadits nabi yang menjadi dasar praksis perjalanan ummat, yakni pertama bahwa menuntut ilmu hukumnya fardlu ‘ain bagi setiap kaum laki-laki maupun perempuan. Kedua, bahwa tugas utama Rasulullah saw adalah menyempurnakan akhlaq yang mulia.

Tiadanya penjelasan bagaimana teknis iqra’ itu dilaksanakan memberikan gambaran bahwa pendidikan itu sesungguhnya suatu hal yang didasarkan pada kemauan tiap orang untuk secara merdeka melaksanakan proses belajarnya. Pada zaman itu Rasulullah saw hanya bertugas sebagai motivator, pendorong sekaligus menjadi uswah agar setiap orang yang memiliki kemauan untuk belajar secara merdeka.

Merdeka, adalah sebuah term yang dikembangkan Rasulullah saw. Setiap individu sahabat dipandang sebagai wilayah (lokalitas) yang saling berbeda satu dengan lainnya. Kaum Anshor yang berasal dari Mekkah tentu berbeda dengan kaum Muhajirin dari Madinah. Dengan cara ini para sahabat bergairah mengembangkan potensi yang bersemayam dalam diri pribadi mereka untuk mencari kebenaran, mereguk pengetahuan duniawi-ukhrawi dari sang Rasul Agung Muhammad saw. Dan dengan cara ini pula secara menakjubkan --dalam waktu sekitar 23 tahun-- Rasulullah saw membebaskan jazirah Arab dari keterpurukan jaman jahiliyyah. Pun lewat cara ini para sahabat --dan dilanjutkan generasi muslim sesudahnya-- menjadi pijakan pembebasan ummat manusia di seluruh dunia dari kebodohan.

***

Disini, di negara yang sudah menjelang 61 tahun merdeka. Di negara yang sebagian besar penduduknya adalah muslim, belum ada gambaran terhadap dunia pendidikan seperti yang dikembangkan pada jaman Rasulullah saw dan para sahabat sesudah beliau. Pendidikan (baca : pembelajaran) yang merdeka, yang membebaskan tidak terlihat.

Setidaknya ada empat penyakit yang menyebabkan dunia pendidikan nasional kita menjadi acakadut,tidak karuan.

Pertama , soal ideologi pendidikan kita yang masih tidak jelas arahnya. Kebiasaan ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum merupakan suatu hal yang lazim terjadi di negeri ini. Dan semuanya diremote secara sentralistik (bahkan sampai pada era reformasi sekarang ini) untuk ‘kepentingan politik’ penguasa. Ada memang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), tapi prakteknya sama setali tiga uangnya dengan yang lalu-lalu. Akhirnya banyak yang memplesetkan jadi Kurikulum Berbasis Kebingungan.

Kedua , birokrasi pendidikan kita yang sangat korup. Sudah anggaran pendidikan kita kecil (tidak sesuai dengan semangat UUD ’45), masih juga diembat untuk kepentingan pribadi. Ini merata dari pusat sampai ke daerah-daerah. Untuk naik pangkat saja, seorang guru didaerah mesti menyediakan uang pelicin. Apalagi jika untuk mutasi ke lain sekolah demi memperbaiki kualitas karirnya, uang pelicinnya juga mesti lebih besar (tapi jangan rame-rame, ini rahasia lho...).

Ketiga , guru yang semestinya menjadi motivator,pendorong, sekaligus uswah bagi siswanya sudah loyo akibat kebijakan politik pemerintah pusat dan korupsi yang merajalela. Akhirnya para guru yang sudah tidak berdaya dan tidak diberdayakan menghibur dirinya dengan harapan uang pensiun yang bakal mereka terima kelak.

Keempat , para orang tua yang secara sadar dan tidak sadar menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan anaknya kepada sekolah dengan sistem yang sudah acakadut ini. Celakanya, para orangtua ini lupa (atau malah pura-pura lupa karena tidak mampu) bahwa guru utama seorang anak adalah bapak-ibunya, sedangkan sekolah sifatnya sekedar membantu melengkapi apa yang sudah diberikan orangtua.

Walhasil, paparan diatas bukanlah untuk diperdebatkan siapa benar siapa salah (lalu dicari kambing hitamnya) melainkan untuk dipahami bahwa membebaskan,memerdekakan anak-anak kita dari kebodohan dan keterbelakangan masih berupa cita-cita yang masih harus terus diperjuangkan agar kelak bangsa kita jadi bangsa yang maju dan bermartabat. Menjadi bangsa yang betul-betul merdeka sekaligus berakhlak mulia. Tak iye....

 

 

  Back To Daftar Isi

PAMATOR

Berlanggangan EDUKASI

Salam……

Mengingat pentingnya bahan bacaan seperti Jurnal EDUKASI dalam rangka meningkatkan keilmuan di bidang pendidikan dan kebudayaan serta sebagai media informasi, kami pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan, bermaksud berlangganan EDUKASI setiap kali terbit, dan terdaftar sebagai pelanggan tetap.

Minhadji Ahmad, BEM Fakultas Hukum UIM

 

Dear EDUKASI. Salam Hangat Selalu !

Terima kasis buat seluruh kru EDUKASI yang selalu menawarkan informasi dan mengembangkan wacana seputar pendidikan, guna membangun masa depan pendidikan yang lebih baik. Selama ini, terus terang EDUKASI telah tampil menarik dan memikat. Saya telah banyak belajar dalam setiap terbitan. Akan tetapi, akan lebih menarik kalau misalnya, EDUKASI memberikan ruang yang sama untuk kalangan pelajar, sehingga pelajar juga dapat mengekspresikan pikiran-pikirannya tentang dunia pendidikan. Kemudian, yang terakhir, kalau bisa bisa EDUKASI juga dapat menginformasikan beberapa lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan dan unik. Hal ini, sangat menarik diinformasikan, agar terjadi kompetesi yang sehat antar semua lemabaga pendidikan.

Ahmad Shiddiq, Andulang Gapura Sumenep

 

For EDUKASI, semoga Tuhan tetap menyertaimu !

Setelah saya membaca beberapa terbitan EDUKASI, saya merasa sangat tertarik sekali. Karena dengan keberadaan EDUKASI, ini akan membantu masyarakat Sumenep dalam setiap berkreatifitas, khususnya dalam menulis karya Ilmiyah. Saya melihat di Sumenep sangat jarang sekali Jurnal yang terbit sehebat EDUKASI. Untuk kalangan Sumenep EDUKASI adalah jurnal yang sangat melebihi keberadaan kondisi yang kurang mendukung dalam dunia menulis. Sehingga dengan diterbitkannya EDUKASI ini sangat membantu dan dapat menghidupkan gairah menulis masyarakat yang mempunyai bakat menulis khususnya para Guru yang ada di Sumenep. Maka dengan ini saya meminta kepada EDUKASI untuk selalu terbit.

Imam Sy, Pangarangan Sumenep

 

Halo EDUKASI ?

Assalamu’alaikun Wr. Wb.

Terbitnya Jurnal EDUKASI, merupakan wadah bagi masyarakat sumenep. Ada sesuatu hal (tulisan) yang sangat menarik dengan EDUKASI. Sekalipun ada beberapa tulisan yang kurang menarik. Tapi ini akan sangat membantu bagi para penulis yang kurang handal, karena dengan sendirinya ini akan berproses untuk selalu melatih diri untuk menjadi penulis yang profesional. Oleh karena itu, keberadaan EDUKASI sangat berarti sekali. EDUKASI jangan sampai tenggelam. EDUKASI yang sudah beberapa kali terbit jangan hanya menjadi sesuatu yang sifatnya ro materro, dalam artian hanya terbit beberapa kali selanjutnya menghilang dari peredaran.

Sulaiman, Batang-batang Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

GURU YANG TAK LAGI BELAJAR PADA SANG MURID

(Sebuah Obituari Pendidikan Indonesia)

Oleh: Juslifar M.Junus

 

Ketika belum ada bangunan yang bernama sekolah,

Saat belum ada hiruk pikuk antara Kekuasaan Guru dan Murid

Semua manusia saling belajar, pada fenomena alam, bertukar kiat

untuk menjalani harmoni kehidupan.

Kutipan narasi dari sebuah kartun pendidikan yang diterbitkan oleh UNICEF diatas, begitu ilustratif sekaligus inspiratif. Seakan mengingatkan kita kembali betapa jauh jarak yang membentang antara lembaga yang bernama Sekolah dengan semangat saling belajar saat ini.

Menengok ke dalam ruang-ruang kelas sekolah kita saat ini, dengan segera kita akan terasa sebuah atmosfir tuntutan belajar yang tak putus-putusnya, kening berkerut, telinga yang selalu siaga, mata awas, tangan cekatan yang terus menulis. Dari para Murid. Sementara seseorang yang berdiri di dekat papan tulis yang kita panggil Guru itu, dengan pikiran batu dan perasaan hambar, tak henti mengulang kalimat-kalimat yang sama dari sebuah buku kurikulum lama tentang rumus matematika kuno atau cerita sejarah yang ia sendiri telah lama tak lagi yakin kebenarannya. Sambil mengajar, barangkali pikirannya melayang pada cicilan rumahnya yang masih lama, perasaannya gamang oleh tarif dasar listrik yang mengganas dan kebutuhan keluarganya yang kian memaksanya menjadi binatang ekonomi.

Lihatlah roman muka murid yang duduk di deretan bangku belakang itu. Mungkin namanya telah susah kita temukan artinya, tidak seperti nama-nama lazim 10 tahun yang lalu. Minat buat anak seumurnya juga sudah berganti. Kalau dulu ketika kita bosan atau tegang dengan sebuah pelajaran, kita jadi makin kangen suasana santai dan akrab saat istirahat di paruh waktu jam-jam pelajaran, kini anak-anak penerus bangsa itu mudah gatal dengan jempol tangannya sendiri buat ngeSMS. Bahkan kini sudah lazim, SMS dari Handphone telah menjadi mediator bertukarnya jawaban antar murid saat ujian berlangsung.

Disinilah seharusnya keprihatinan bermula. Tidak melulu dari jebloknya nilai ulangan namun juga menimbang pemahaman guru yang tak lagi mengenali point of interest sang murid. Guru harus lebih melek, bahwa dunia telah berubah, berjalan tanpa bisa dihentikan. Murid-murid kini telah mengenal friendster, bisa menulis diari di webblog, bertukar video porno lewat Bluetooth dan bisa menyimpan data lagu-lagu berformat MP3 di USB Flash disk nya.

Maka bisa dibayangkan Quantum Teaching Learning yang hendak diterapkan oleh Para Guru akan selalu meleset dan gagal, karena hakikat Pola Pikir ‘Akselerasi’ beserta perangkat-perangkatnya masih belum dalam genggaman. Tehnik Quantum hanya akan menjadi tehnik Instant yang akan menghambat kecerdasan emosional sang murid karena ketelatenan dan ketekunan serta kesabaran tak pernah sungguh-sungguh dikenalkan.

How to learn – How to do – How to Live Together yang menjadi 3 parameter penting Kurikulum yang sekarang ini sedang diujicobakan di dunia pendidikan kita, sepertinya masih berkutat di How to Learn belaka. Barangkali kita semua masih bersikeras dengan stigma bahwa Sekolah bukanlah Institusi How to do. Jika sudah ada institusi semacam Balai Latihan Kerja atau Lembaga-lembaga Kursus yang menawarkan berbagai ragam keterampilan, mengapa sekolah harus ikut-ikutan ngurusi Skill aspect ini? Terlebih lagi How to live together.

Tapi toh tak semua dunia pendidikan Indonesia bermuka masam seperti itu. Setidaknya di Harian Kompas 24 Februari 2006 memberitakan sebanyak 20 guru SMA dari sejumlah kota di Indonesia, yakni Depok, Jakarta, Semarang, Bandung dan Surabaya menerima penghargaan atas kreativitas mereka, Kamis (23/2), di Jakarta. Penghargaan itu berasal dari program Citi ­group Success Fund 2005.

Ke-20 guru tersebut terpilih dari 132 guru lainnya yang me­masukkan proposal. Penerima penghargaan tersebut terdiri atas dua kategori, yakni pemenang terbaik dan 10 pemenang harapan. Para guru tersebut telah mengimplementasikan program kreatif mereka selama bulan Agustus hingga Desember 2005.

Salah satu program menarik ialah yang dilakukan Siti Chadijah Auriah, guru SMA Negeri 1 Depok, dengan proposal kegiatan berjudul "Hidroponik".

Siti yang termasuk dalam ka­tegori 10 pemenang terbaik me­nerapkan keterampilan praktis berbasis bioteknologi melalui pembuatan tanaman hidroponik. Program ini menjadikan SMA Negeri 1 Depok terlihat hijau. Ide kreatif dalam mengajar yang di­gagas tersebut untuk mengem­bangkan sistem pembelajaran ba­gi siswa. Sebab, siswa membutuhkan suasana belajar yang lebih hidup.

Namun bukan berarti Metode yang diterapkan oleh Siti Chadijah diatas, bisa serta merta ditiru atau diadopsi di sekolah-sekolah lain. Perbedaan kreativitas, sarana & prasarana masing-masing sekolah turut menentukan keberhasilan sebuah metode pendidikan. Apalagi kini, Mendiknas Bambang Sudibyo berencana merombak lagi kurikulum tahun 2004 yang belum sepenuhnya diterapkan di sebagian besar sekolah di tanah air.

Setidaknya, Abdorrahman Ginting, dosen kebijakan pendidikan dari Universitas Hamka (U-Hamka) Jakarta, menyatakan menghargai rencana dan kebijakan Mendiknas Bambang Sudibyo untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional dengan – antara lain – membenahi kurikulum. Namun, rencana perubahan kurikulum itu harus benar-benar dikaji dari berbagai aspek, termasuk memperhitungkan kelengkapan sarana dan prasarana persekolahan.

Ia mengingatkan, jika pergantian kurikulum tidak diikuti ketersediaan sarana dan prasarana sesuai standar pelayanan minimal persekolahan, ujung-ujungnya kurikulum kelak tetap tidak membumi. Jika itu terjadi, pejabat negara yang bertanggung jawab dibidang pendidikan era selanjutnya bakal ”mengotak atik” lagi kurikulum tersebut. Selain itu, tidaklah sederhana mengubah metodologi pembelajaran.

Bisa saja muncul anggapan bahwa rencana perubahan kurikulum lebih bersifat proyek ketimbang mempertimbangan aspek urgensi, subtansi, dan implementasinya. Analoginya mirip dengan terapi yang salah dalam mengobati penyakit. Kaki yang gatal, yang diobati kepala.

Tanda-tanda tidak adanya perhitungan yang matang dalam hal kebijakan kurikulum selama ini memang sangat tampak didepan mata. Mungkin hanya Indonesia satu-satunya negara yang dalam waktu bersamaan bakal menggunakan tiga jenis kurikulum: kurikulum 1994, kurikulum 2004 dan kurikulum baru nanti.

Saat ini sebagian besar sekolah ditanah air masih menggunakan kuikulum 1994. di sejumlah sekolah, berlangsung uji coba kurikulum 2004 alias KBK. Kalau standar isi dan standar kompetensi hasil rumusan Badan Standar Nasional Pedidikan jadi dikukuhkan dengan peraturan materi, maret nanti, maka pada tahun satu-dua tahun selanjutnya bakal ada uji coba kurikulum baru.

Dengan adanya dua-tiga kurikulum berbeda untuk generasi yang hampir seangkatan, bisa digamangkan bagaimana arah dan visi pendidikan nasional kita. Di sini aspek kesinambungan menjadi terabaikan.

Barangkali kita bisa mencoba bercermin pada konsistensi kebijakan pendidikan di Malaysia. Kurikulum diselaraskan dengan visi dan misi 2020. dalam hal ini, sesuai dengan masyarakat budaya setempat titik berat kurikulum pada penerapan tehnologi tinggi, bahasa inggris dan sains (ilmu murni). Kita layak bertanya, apakah rencana perubahan kurikulum kita ke depan sudah disinkronkan dengan rencana strategis Depdiknas untuk jangka panjang.

Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah di tanah air saat ini sedang melaksanakan program yang disebut sebagai "fullday". Program fullday yang dimaksud adalah di mana proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore.

Alasan positif yang dapat dikemukakan bila program fullday dilaksanakan, yaitu anak-anak akan menghabiskan waktunya hampir sehari penuh bersama guru dan temannya, yang kemudian dapat membentuk tata pergaulan dan ukhwah dalam suasana interaksi dan sosialisasi yang bernuansa akademis.

Di samping itu, anak didik juga terhindar dari tawuran antar sekolah dan kegiatan yang tak bermanfaat di rumah. Sedangkan dampak negatif program fullday yang dikemukakan adalah, anak didik akan kelelahan setiba di rumah, kemudian tidur, dan malamnya pun mereka dituntut untuk belajar. Artinya, tidak efektifnya waktu di rumah untuk anak-anak dengan dilaksanakannya program fullday di sekolah. Oleh sebab itu di sini dituntut kearifan para orang tua di rumah. Demikianlah menurut sebagian ahli pendidikan tentang program fullday ini. Meskipun demikian program fullday dinilai lebih banyak manfaatnya, karenanya ia terus di praktekkan. Alasan lain dari perlunya program fullday adalah untuk memacu perkembangan sumber daya manusia, karenanya pula pihak sekolah yang mempraktekkan program itu tidak merasa memiliki "dosa".

Padahal, yang terbayang dari gagasan ini adalah bahwa anak didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh dengan peraturan dan pengawasan, serta tetek bengek urusan sekolah lainnya. Konsekwensi dari diadakannya program fullday itu yang terparah adalah, anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar dengan urusan akademis tapi buta dengan urusan dunia luarnya. Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Ia keluar dari pabrik bernama sekolah bak sebuah robot yang digerakan dengan remot kontrol, tiada kemandirian (demikian bila meminjam bahasa-bahasa Ivan Illich atau Paulo Freire tentang dunia pendidikan).

Tidak jarang dijumpai, apa yang didapatkan (anak didik) di sekolah bertentangan dengan kenyataan yang ada di luarnya. Menurut hemat saya, tawuran antar pelajar muncul bahkan karena sekolah tempatnya belajar telah membentuk sikap egois yang menganggap teman itu hanya yang satu sekolah saja. Anak lain yang tidak sama sekolahnya lalu dianggap sebagai musuh. Hal ini disebabkan karena mereka terbiasa dan dibentuk oleh suasana akademis masing-masing, sehingga sulit menerima perbedaan atau realitas yang ada. Dari sini, belum tentu dengan program fullday di sekolah akan dapat menghindari tawuran antar pelajar di sekolah. Bukankah tawuran antar pelajar selama ini sering dalam keadaan memakai seragam, dan waktu belajar di sekolah?.

Sekolah Kehidupan

Berangkat dari persoalan di atas, saatnya anak didik diberikan kesadaran akan adanya "sekolah kehidupan". Sekolah yang ada bukan hanya berbentuk huruf "L" atau "U" dengan segudang peraturan di dalamnya. Yang terkadang juga membuat bingung para orang tua karena banyaknya urusan yang harus dipenuhi. Sekolah kehidupan adalah realitas baik-buruk yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang (akan) menghadapi dan menjalaninya. Fenomena kehidupan yang ada berfungsi mendewasakan pikiran untuk menentukan sebuah pilihan hidup di antara proses berpikir yang dianugerahi Tuhan.

Setiap orang diberikan kebebasan untuk belajar di sekolah kehidupan dan dengan itu menentukan jalan hidupnya. Dalam sekolah kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik-buruk realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-masing. Oleh sebab itu tidak ada yang patut bertanggung jawab dan disalahkan dalam menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan oleh masing-masing individu. Dengan demikian manusia dituntut mengadakan interaksi dengan lingkungannya, belajar dari pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas yang ada itulah yang menjadi basis bagi sekolah kehidupan.

Sulit untuk dipungkiri bahwa, di sekolah kehidupan inilah tempat di mana setiap orang ditentukan sukses atau gagal. Banyak orang yang pintar, berprestasi, memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula yang gagal menerima kenyataan kehidupan yang harus dihadapinya. Dia gagal di sekolah kehidupan. Karena ia tidak memiliki persiapan untuk itu. Sebaliknya, banyak pula orang yang sukses dalam sekolah kehidupan ini meskipun prestasinya di sekolah (dalam arti sesungguhnya) biasa-biasa saja. Karena mereka sadar dengan realitas yang dihadapinya sehingga ia tahu benar bagaimana pula cara menghadapinya.

Jelas sudah, bahwa lembaga sekolah bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan kunci keberhasilan seseorang. Dengan demikian, sudah saatnya anak didik dikembalikan kepada realitas kehidupan dengan pengajaran atau Manajemen yang Berbasiskan Realitas (MBR) di sekolah, serta diberikan waktu yang cukup baginya untuk belajar dari realitas itu. Agar anak didik setelah ke luar dari sekolah tidak gagap menerima kenyataan yang ada.

Sebuah Alternatif

Ahli pendidikan dari Brazil, Paulo Freire (1999), lewat pemikiran kritisnya terhadap sistem belajar di sekolah setidaknya menyadarkan kita. Menurut Freire, pendidikan di sekolah selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Karena sekolah telah mengajarkan anak didik menjadi seperti (orang lain) bukan bagaimana menjadi dirinya sendiri. Ia hanya diberikan kemampuan merubah "penafsiran" seseorang untuk situasi yang dihadapinya, namun tidak mampu merubah "realitas" dirinya sendiri. Oleh sebab itu, bagi Freire, penting bagi anak didik untuk diberi kesempatan mengadakan interaksi dan dialektika dengan sebuah realita yang lebih membebaskan.

Ivan Illich (2000) lewat bukunya Deschooling Society bahkan melihat perlunya masyarakat dibebaskan dari belenggu sekolah. Yaitu suatu kebebasan dari kecendrungan masyarakat yang menganggap bahwa sekolah hanyalah satu-satunya sebagai lembaga pendidikan dan sumber pengetahuan ilmu. Untuk itu, untuk menolong anak didik memiliki kesadaran akan sebuah realitas, maka lembaga sekolah yang ada harus memberikan pengajaran yang berbasiskan realitas kehidupan. Bukan jauh dari realitas atau antirealitas.

Suatu realitas yang ditangkap dengan intelek akan selalu berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang maupun bidangnya (Musa Asy'arie, Kompas, 9 Juli 2002). Sebab itu teori atau rumusan dalil yang dipelajari dan diberikan kepada anak didik di sekolah tidak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menghadapi realitas itu. Yang diperlukan adalah bagaimana pemahaman anak didik terhadap realitas, bukan bagaimana menghafal teori-teori dan rumusan dalil yang belum tentu sesuai dengan realitas itu sendiri. Untuk mendukung ke arah itu, tentu anak didik diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan realitas. Bukan sebaliknya terkungkung dengan suasana akademis seharian.

Bukankah fungsi pendidikan pada hakikatnya menolong setiap individu anak didik agar mampu menjadi anggota masyarakat yang baik serta berhasil guna dengan cara mengajarkan pengalaman masa lalu dan pengalaman masa kini kepadanya. Bagaimana mungkin akan diajarkan pengalaman masa lalu dan masa kini bila anak didik sendiri jauh dari praktek (realitas) tempat di mana pengalaman itu berlangsung. Dan pengalaman akan dinamakan pengalaman bila setiap orang pernah melalui dan merasakannya, yaitu dalam sebuah kenyataan hidup.

Berangkat dari pandangan seperti ini, maka gagasan program fullday sangatlah kurang --kalau tidak setuju dikatakan tidak-- sesuai dengan prinsip realitas kehidupan yang selalu berubah dan dinamis. Kehidupan yang akan dilalui bagi anak didik ke depan bukanlah kehidupan yang dibentuk oleh sebuah kondisi sekolah, lebih dari itu beraneka corak realitas akan ditemuinya. Dengan demikian, saatnya sekolah melakukan gerakan kesadaran tentang adanya sebuah realitas kehidupan ("sekolah kehidupan") yang menentukan sebuah keberhasilan dan kesuksesan, tentu, dengan cara "mengembalikan" anak-anak ke realitas kehidupan itu sendiri.

Salah satu pertanyaan besar dalam system pendidikan nasional kita adalah mampukah pendidikan menyesuaikan dengan keadaan dan perkembangan zaman? Pertanyaan ini sangat relevan mengingat pendidikan kita juga termasuk sasaran pelaku korupsi yang pada gilirannya membangkrutkan mutu kecerdasan siswa.

Hirarki dalam kelembagaan pendidikan cenderung melanggengkan sikap feodal, menumbuhkan sikap aristokrat daripada sikap demokrat. Pendidikan tidak hanya mempersiapkan anak menjadi manusia mesin atau automaton seperti dikatakan Erich From. Di bawah hegemoni kekuasaan sistem pendidikan juga akan melahirkan para 'agen intelektual' atau Commissars , menurut Noam Chomsky, yang hidupnya bergantung dan caranya melayani kepentingan atau memenuhi kebutuhan penguasa. Tugas para 'agen intelektual adalah mereproduksi pengetahuan atau kebenaran para penguasa.

Kaum yang skeptis juga prihatin dengan sifat deskriminatif dan formalisme pelembagaan yang mengakibatkan banyak anak yang tidak bisa belajar. Hanya anak yang bisa memnuhi persyaratan formal yang ditentukan yang boleh belajar di sekolah. Komersialisasi, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas, merupakan faktor lain yang mendukung berlakunya deskriminasi pendidikan. Keprihatinan ini mengingatkan pada kritik Ivan Illich tentang sistem sekolah yang hanya menjadikan para siswa tidak bedanya dengan sapi perah. Hanya anak yang siap diperah keuangan (orang tua)nya yang boleh duduk di bangku sekolah. Perlakuan deskriminatif di balik penyelangaraan pendidikan formal yang kemudian menyinggung rasa keadilan kaum pembaharu pendidikan.

Masih panjang rentetan kritik dan analisis yang memperlihatkan kondisi yang memperlihatkan dari sistem pendidikan. Bagi kaum skeptis sudah jelas bahwa ketika kritik hanya menjadi penunggu tong sampah, sama artinya penyelenggara pendidikan formal telah mengabaikan kehendak masyarakat. Tidak berlebihan kalau kemudian masyarakat yang merasa diabaikan menilai Negara telah gagal memberikan pelayanan pendidikan tebaik bagi masyarakatnya.

Kita tidak perlu menyangsikan bahwa masyarakat memiliki kekuatan tersembunyi yang tidak banya sekadar mengontrol Negara, melainkan mampu mengambil alih legitimasi kekuasaan Negara. Ketika Negara hanya mandeg (berhenti) pada kepentingan kekuasaan atau malah memperkokoh pertahanan status quo pada saat itu masyarakat akan memperlihatkan gerak pembaharuan sendiri. Demikian halnya masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini pun menggeliat, berupaya menembus tembok kemandegan dengan membangun sendiri strategi baru untuk pembaruan pendidikan. Mereka tidak lagi sekadar menunggu perubahan dari atas. Pembaruan tidak cukup hanya di upayakan dengan penyampaian kritik, tapi sebaliknya kritik akan menjadi berdaya guna pada perubahan kalau dimulai dengan tindakan. Dengan kemauan dan kemampuan yang ada kelompok-kelompok masyarakat berupaya membangun model-model pendidikan sendiri.

Berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan pendidikan allernatif, 'sekolah bebas', Sanggar, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar dengan kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial. Fenomena itu mengingatkan pada gagasan Ivan Illich tentang 'de-sekolah-isasi' bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan terselenggarakan oleh siapa saja. Formalisme kelembagaan menjadi relatif.

Fenomena itu sekaligus merontokkan bangunan arogansi dan hegemoni, menjungkir balikkan dominasi Negara. Negara bukan lagi menjadi satu-satunya kekuatan yang paling legitimet untuk membangun kualitas bangsa. Negara dianggap telah kehilangan legitimasinya karena kegagalannya melakukan perbaikan kualitas pendidikan untuk masyarakat. Sentra legitimasi pendidikan mulai tersebar di berbagai kelompok atau komunitas masyarakat. Saat ini mungkin belum begitu terasa, tapi bukan tidak mungkin sentral legitimasi pendidikan akan semakin kuat bergeser ke kelompok-kelompok masyarakat Kepercayaan diri masyarakat yang selama ini tersingkirkan oleh dominasi dan diskriminasi Negara mulai tumbuh menjadi kekuatan untuk bangkit membangun ruang-ruang belajar sendiri.

Sudah semestinya fenomena gerakan pembaruan pendidikan diterima dengan pandangan positif sebagai sebuah kritik produktif. Penyebaran sentra kekuatan pendidikan mewujudkan heterogenitas, menjadikan pendidikan tidak lagi bersifat monolitik. Pembaruan yang dimulai dan berkembang di kelompok-kelompok masyarakat merupakan kemajemukan yang memecah sentralisasi. Gerak pembaruan yang ada di masyarakat tidak perlu dipandang sebagai seteru. Karena pembaruan menunjukan potensi otentik masyarakat dalam membangun sebuah kebudayaan, upaya membangun citra manusia.

Pendidikan tidak berujung pada kepentingan Negara atau juga pendidikan tidak mengarahkan setiap individu tunduk pada kepentingan sosial seperti tesis Jean Jacques Rosseou tentang kontrak sosial. Visi gerakan pembaruan pendidikan mengarah pada gagasan Leo Tolstoy yang memahami pendidikan sebagai kebudayaan; ruang yang berisi nilai-nilai luhur yang abstrak sekaligus aneka pengetahuan dan kemampuan menghadapi berbagai persoalan hidup bersama baik untuk saat kini maupun mendatang. Dengan konsepsi itu, maka gerakan pembaruan pendidikan tidak bermaksud menafikan persoalan-persoalan fisik, keterampilan, dan intelektualisme. Dalam pendidikan alternatif persoalan-persoalan itu tetap perlu. Hanya persoalannya sejauh mana kemampuan menguasai persoalan-persoalan intetektualitas dan indrawi itu tidak mengasingkan anak-anak dari citranya sebagai manusia yang mengenal nilai-nilai; kebaikan, kejujuran, keadilan, keindahan dan lainnya. Bagi kelompok masyarakat pembaharu bicara tentang pendidikan adalah bicara tentang proses pertumbuhkembangan manusia, bukan bicara tentang manusia harus bisa apa. Setiap gagasan tentang pendidikan senantiasa bertolak dari pemahaman tentang manusia yang berdimensi individual-sosial (JohnDewey).

Pendidikan menjadi berkualitas kalau dibangun atas dasar pemahaman yang baik tentang citra manusia dan bertujuan membantu setiap peserta didik bertumbuhkembang sebagai mahkluk integral, manusia utuh dengan segala dimensinya. Oleh karena itu perhatian utama pendidikan alternatif dalam upaya mencapai tujuan tidak terletak pada pengetahuan apa yang seharusnya. dikuasai peserta didik, melainkan bagaimana peserta didik akan menggunakan pengetahuannya.

Menurut Freire manusia utuh adalah manusia konkret yang ada dalam konteks bersama dengan alam dan sesama manusia lainnya. Konkret tidak hanya berarti bersifat ragawi terjamah, tetapi juga memiliki kesadaran sebagai kemampuan untuk menentukan nilai kebenaran. Masih menurut Freire kesadaran adalah potensi otentik tentang nilai-nilai keluhuran manusia yang sifatnya universal. Kaum tertindas dan kaum penindas adalah kaum yang sama-sama kehilangan otentisitas kesadarannya. Keduanya sama-sama kehilangan citra luhur kemanusiaannya (dehumanisasi ). Perbedaannya, kaum tertindas kehilangan citra kemanusiaannya karena otentisitas kesadarannya ditundukkan oleh kaum penindas.

Tanpa bermaksud memutlakkan, karena menyadari perbedaan sejarah, budaya dan konteks (sosio-antropologis) kaum skeptis meletakkan gerak pembaharu pendidikan pada pandangan humanis. Langsung atau tidak, pandangan gerakan pembaruan pendidikan mengacu pada gagasan para pemikir romatis seperti Jean Jacques Russeou, pedagog humanis-revolusioner seperti John Dewey, Ivan Illich, Paulo Freire) termasuk Ki Hadjar Dewantara. Sumbangan konsep atau gagasan para pedagog melengkapi pemahaman tentang ide pemabaruan pendidikan.

Radikalitas gerakan pembanu pendidikan bisa dilihat konsistensi sikap dalam menghentikan penyelenggaraan pendidikan Negara yang dinilai kontra produktif. Bukan hanya visi yang baru, tapi implementasi praksis pendidikannya pun didasarkan pada pendekatan yang cukup humanis.

* * *

 

Sumber Pustaka :

Ivan Illich – Deschoolling Society (2000)

Paulo Freire – Conscientization (1976) dan Pedagogi Of The Oppressed (1972)

Yanto Mahasiswa FE Universitas Muhammadiyah Malang Feodalisme Pendidikan dan Pendidikan Feodalisme 5 Oktober 2004, www.pendidikan-network.com

Lidus Yardi Spd Sekolah Kehidupan Berbasiskan Realitas 24 Januari 2004, , www.pendidikan-network.com

Eko Prasetyo Sekolah Itu Candu

KOMPAS, RABU, 22 FEBRUARI 2006 EKSISTENSI SEKOLAH Komersialisasi Kerdilkan Ruh Pendidikan

Kompas , Rabu, 22 Februari 2006 KURIKULUM TAK KORBANKAN ANAK Perubahan Hanya Berlaku Bagi Siswa Kelas I

KOMPAS, RABU, 22 FEBRUARI 2006 TENAGA PENDIDIK Menggugat Sang Tertuduh

KOMPAS, KAMIS, 23 FEBRUARI 2006 Kerja Besar Memperbarui Pendidikan Guru

KOMPAS, KAMIS, 23 FEBRUARI 2006 Sertifikasi Pendidik Pergulatan Batin Guru Dipelosok

KOMPAS, JUMAT, 24 FEBRUARI 2006 Hati-hati Buat Kebijakan: Pergantian Kurikulum Harus Menjadi Bagian Rencana Strategis

KOMPAS, JUMA’T, 24 FEBRUARI 2006 Penghargaan untuk Guru yang Kreatif

KOMPAS , SABTU, 25 FEBRUARI 2006 MERATAKAN KUALI PENDIDIKAN

KOMPAS, SENIN, 27 FEBRUARI 2006 HINDARI ORIENTASI MONUMENTAL Perubahan Kurikulum Bisa Abaikan Aspek Kesinambungan

KOMPAS, SENIN, 27 FEBRUARI 2006 PERSEKOLAHAN Siapkah Guru Sebelum Kurikulum diubah Lagi!

 

Biodata

Juslifar M. Junus S.Sos. Alamat: Jl.Kutisari Selatan I / 31 Surabaya 60291 Telp.031 8494963, HP.081 686 3746 email: juslifar_mj@yahoo.com. Menyelesaikan S-1 di Program Studi Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Th.1995. Pemerhati Persoalan Pendidikan dan hingga kini aktif mengajar Kelas Akting di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan menjadi Konsultan Kreatif di ADEC (Altenative Development Education Centre).

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

HERMENEUTIKA CANGKOLANG

DALAM PROSES PENDIDIKAN BERBASIS MORAL

Oleh. A. Maimun Syamsuddin

 

Pandangan-Dunia di Balik Pendidikan

Pada dasarnya orang dididik agar bisa menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Secara keseluruhan persoalan yang dihadapi manusia mencakup persoalan teknis, konseptual dan eksistensial. Usaha itu dilakukan dengan mengajarkan, mengarahkan atau membiasan cara-cara menyelesaikan persoalan oleh seseorang kepada orang lain. Dalam hal ini, pendidikan menjalankan fungsi normatifnya dengan mengalihkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang lebih tahu. Tapi tidak hanya itu. Orang juga dididik untuk bisa hidup lebih baik dalam segala segmen kehidupan. Orang dididik untuk bisa mengembangkan pemecahan persoalan teknis secara lebih canggih, efektif dan efisien, menyajikan rumusan-rumusan yang lebih baik dalam persoalan-persoalan konseptual, menyajikan pandangan-pandangan yang lebih bisa diterima dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan eksistensial. Maka pendidikan juga memiliki fungsi dinamis-progresif, bukan sekedar transfer, copy dan duplikasi pengetahuan sebagaimana dalam fungsi normatifnya.1 Kedua fungsi ini saling menyempurnakan sebagai entitas yang saling terkait (inteconnected entity) tanpa harus dilihat saling menafikan atau berjalan sendiri-sendiri.

Tentu saja tujuan pendidikan itu luhur. Tapi tidak semua tujuan luhur diupayakan melalui proses-proses yang juga luhur. Logika instrumental tidak jarang dipakai untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Karena tujuan dan proses tidak terkait otomatis dalam aspek nilai. Keduanya hanya terkait erat dalam kausalitas, pada tingkat tertentu. Baik dalam proses atau tujuannya, pendidikan membawa pandangan fundamental tertentu terkait dengan manusia dan realitas secara keseluruhan yang dikenal dengan “pandangan dunia” (worldview). Pandangan ini juga menjadi dasar nilai yang menjadi standar sikap dan tindakan dalam dunia pendidikan atau kehidupan secara umum. Proses pendidikan menjadi common area bagi segenap pandangan-dunia mulai dari dasar, visi dan misi, praktik dan tujuannya.

Salah satu pandangan yang cukup berpengaruh dalam proses pendidikan kontemporer adalah pandangan tentang kebenaran dan metode yang handal untuk mencapainya serta tujuan pengetahuan itu sendiri. Jika dirujuk ke akar-akarnya, pendidikan masyarakat modern banyak dipengaruhi skeptisisme metodis Cartesian dan pragmatisme Baconian. Skeptisisme metodis yang disebut Descartes (1596-1650) “metode kesangsian” (le doute methodique) adalah cara memperoleh kebenaran dalam pengetahuan yang bertujuan menemukan “kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh” (fundamentum certum et inconcussum veritatis). Metode itu mengharuskan keraguan atas segala hal. Tak ada pengetahuan yang begitu saja bisa diterima tanpa dipertanyakan dan diuji.2 Karena itu suatu otoritas religius seperti wahyu atau kitab suci dan sabda nabi juga harus diragukan dan dipertanyakan. Pada akhirnya pembuktian yang paling dianggap handal adalah metode ilmiah (scientific method).3

Selain itu, pandangan pragmatisme yang membawa semangat dari pandangan Francis Bacon (1561-1626) adalah bahwa ilmu harus digunakan untuk menguasai alam, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan intelektual. Asas tujuannya adalah eksplorasi semaksimal mungkin yang tercermin dalam jargonnya “pengetahuan adalah kuasa” (knowledge is power). Semangat yang tertanam dalam pencarian ilmu adalah fungsionalisasi untuk menguasai alam. Yang menjadi perhatian utama adalah memahami dan mematuhi hukum-hukum alam untuk menguasainya. Dengan itu diharapkan manusia akan memasuki kehidupan serba sejahtera.4 Dengan pandangan dasar ini pendidikan lebih terarah pada keterampilan teknis dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) menjadi ilmu idola. Metode yang digunakan bahkan dijadikan metode standar untuk ilmu-ilmu lain karena kehandalannya dalam pembuktian empiris atas fenomena alam.

Ilmu Impersonal dan Kematian Guru

Yang dapat dilihat lebih lanjut dari dua pandangan dunia di atas adalah semangat kritisisme, liberasi dan produktivitas. Meragukan hal-hal yang dianggap benar, kebebasan dalam menganut, meyakini dan cara mencari kebenaran serta memanfaatkan pengetahuan untuk kepentingan produktif menjadi arus utama semangat belajar, disadari atau tidak. Semangat ini dengan serta merta mampu menyingkirkan semangat moralitas dalam pengertian pandangan tentang nilai baik-buruk Karena nilai dianggap cenderung subjektif. Apalagi sains yang menjadi “imam” ilmu pengetahuan modern memandang dirinya tidak berhubungan dengan nilai, bebas nilai (value-free), hanya berhubungan dengan data-fakta, teori yang dibangun melalui metode ilmiah dan penerapan dalam bentuk teknologi. Yang terpenting terbukti secara ilmiah dan dapat diwujudkan dalam bentuk teknologi. Ilmu hanya berkutat pada teori dan konsep serta perancangan alat-alat teknologis, mendapat keuntungan material. Selesai! Urusan baik-buruk, termasuk dalam penggunaannya dipasrahkan pada masing-masing individu.

Dampak seterusnya adalah ilmu menjadi terlepas dari pemiliknya secara moral. Hubungan antara ilmu dan ilmuwan dalam hal tanggung jawab menjadi sesuatu yang asing dalam perbincangan. Orang juga tak merasa perlu menghubungan moralitas pribadi sang ilmuwan dengan teori atau temuan yang diperoleh. Sang ilmuwan juga tak merasa perlu memperbaiki moralitasnya terkait dengan kapasitas dirinya sebagai figur ilmuwan. Ilmu menjadi impersonal, sebatas konsep, teori dan hasil dalam bentuk teknologi, tanpa perlu dikaitkan dengan subjek. Yang perlu dilihat hanya kebenarannya melalui pembuktian ilmiah. Hanya tinggal hubungan ekonomis dalam bentuk penghargaan dan pendapatan material yang tersisa. Lebih jauh Habermas menyebut fenomena ini sebagai keterlepasan ilmu dari praxis sosial dengan tidak memerdulikan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan. Ilmu telah mengalami kematian spirit kebijaksanaan yang menjadi akar kemunculannya.5

Netralitas yang disanjung-sanjung dalam dunia ilmu justru menyingkirkan moralitas dalam perjalanan sejarahnya. Dampak negatif yang terlihat dalam sejarah ilmu pengetahuan telah membuat banyak orang miris. Dorongan kepentingan material yang masuk ke dalam proses pengembangan ilmu dan pendidikan semakin memperparah situasi. Moralitas semakin tergadai dan tidak dipentingkan lagi keberadaannya. Para ilmuwan menjadi sosok yang hanya cerdas secara intelektual, tapi idiot secara moral, apalagi spritual. Calon-calon ilmuwan pun cenderung dididik hanya secara intelektual dan prestasi diukur dengan hasil temuan semata.6

Efek domino dari pandangan tersebut di atas adalah “kematian guru”. Guru sebagai ilmuwan tak lagi diperhitungkan sebagai figur rujukan moral. Pandangan tradisional tentang guru sebagai poros moral masyarakat telah bergeser.7 Guru dipandang tak lebih dari sekedar media atau alat untuk transfer dan pengembangan kemampuan perserta didik. Guru hanya dilihat sebagai profesi biasa, tak berbeda dengan profesi apapun, seperti akuntan, advokat, pilot, bankir, bahkan pembantu rumah tangga. Tak ada lagi penghormatan atas jasanya. Karena penghormatan telah diganti dengan pemberian insentif material (materialisai penghargaan). Karena itu, ia tidak akan dihormati masyarakat jika tidak elit secara ekonomis. Karena penghormatan atas seseorang tidak bisa dilepaskan dari posisi sosial-ekonominya. Maka tidak aneh kalau seorang bankir atau advokat lebih dihormati sekalipun korup. Dengan ini, masyarakat memang tidak membunuh guru secara klinis atau biologis, tapi telah membunuhnya secara etis.

Moralitas dan ilmu, guru-ilmuwan dan murid-calon-ilmuwan telah berjalan sendiri-sendiri. Bahkan guru dan murid telah memberangus moralitas dengan ilmu itu sendiri. Lembaga pendidikan menjelma menjadi pabrik untuk mencetak mesin-mesin pekerja berupa manusia robot. Barangkali tidak salah jika ada orang mengatakan bahwa sebenarnya kita tidak semakin pintar. Karena manusia modern tidak selalu menjadi bijak dengan tambahan pengetahuan yang melebihi masyarakat tradisional. Tapi dengan segala kekurangannya di banding pengetahuan modern, masyarakat tradisional, bahkan primitif sekalipun, telah menghasilkan orang-orang bijak dan mengajarkan kebijaksanaan dengan moralitas tinggi dalam proses pendidikan. Dalam setiap kawasan ajaran-ajaran bijak yang dididikkan turun temurn selalu ada, tanpa kecuali masyarakat Madura yang sampai saat ini masih tergolong tertinggal dari banyak kawasan lain. Bahkan dinilai menyandang predikat bodoh, kasar dan miskin.8

 Cangkolang: Dari Moralitas Magis

Pendidikan tradisional di Madura adalah pendidikan agama. Karena itu ia begitu mementingkan moralitas. Karena moralitas adalah inti ajaran Islam seperti ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dari pendidikan agama itu moralitas diajarkan dan dibudayakan sehingga mewarnai kehidupan masyarakat. Tentu saja tidak berarti bahwa masyarakat Madura tidak memiliki moralitas sebelum masuknya pendidikan keagamaan. Karena itu, moralitas Islam tidak masuk pada sebuah miliu hampa, tapi pada miliu dengan kultur yang memuat moralitas setempat. Yang terjadi adalah akulturasi unsur Islam dengan unsur lokal yang kemudian melahirkan rumusan khas.9

Cangkolang sebagai bagian dari “kebijaksanaan lokal” (local wisdom) adalah salah satu bentuk akulturasi yang muncul dalam bentuk konsep yang kemudian menjadi sistem keyakinan dalam bentuk doktrin. Pada dasarnya ia adalah konsep yang tidak sederhana. Hanya saja pengertiannya mengalami simplifikasi dengan hanya dipahami sebagai prilaku lancang, terutama kepada guru dalam kaitannya dengan pendidikan. Secara lebih umum, cangkolang tidak hanya berarti lancang kepada guru, tapi juga kepada orang tua dan semua orang yang dihormati. Cangkolang adalah sikap dan prilaku lancang yang harus dihindari untuk menghormati orang terhormat (dalam konteks ini: guru).10 Tidak sekedar itu, cangkolang terkait dengan konsep lain, yakni tola (kualat) dan basto (kutukan). Tola adalah akibat negatif yang bersifat pasif dari orang yang mendapat perlakuan cangkolang, sementara basto terjadi karena tindakan aktif (mengutuk) orang yang bertindak cangkolang. Tola dan basto diyakini sebagai kecelakaan dalam arti mendapat sanksi sosial berupa penilaian negatif dari masyarakat, khususnya penilaian sebagai orang tak bermoral dan tidak dipercaya dalam berbagai hal. Selain itu juga ada dampak religius berupa ketidakbahagiaan baik di dunia dan ancaman kecelakaan di akhirat. Secara keseluruhan, orang yang melakukan ke-cangkolang -an diyakini akan celaka dan tidak bahagia lahir atau batin atau kedua-duanya sebagai bentuk hukuman atas kejahatan moralnya. Ini searah dengan pengertian bala’ (dari Bahasa Arab) sebagai hukuman yang bergeser dari makna aslinya yaitu ujian .

Sebaliknya, orang yang menghindari cangkolang dengan menghormati atau mengabdikan diri kepada guru (ngabdi ) diyakini akan mendapat barokah . Barakah dipahami sebagai kebaikan dan keselamatan yang bisa diperoleh di dunia atau di akhirat. Setidaknya ia akan diakui integritas moralnya. Berbagai keuntungan yang diperoleh dalam kehidupannya diyakini berkat penghormatan dan pengabdiannya pada guru, yang dalam hal ini kiai . Barakah juga bisa berupa ilmu yang diperoleh tanpa belajar atau lebih dari yang dipelajari. Karena itu, pengabdian kepada guru menjadi salah satu cara belajar dalam pengertian cara lain untuk memperoleh ilmu.

Bagaimana seorang guru atau kiai bisa memeberi tola dan basto dengan cangkolang dan memberi barakah dengan ta’dzim dan ngabdi ? Semua itu tak lepas dari hirarki moralitas dan tatanan kosmis dalam pandangan orang Madura. Dalam hirarki moralitas, guru adalah salah satu poros moral selain orang tua dan raja. Itu tercermin dari saloka (pitutur orang bijak) terkenal buppa’ babu’ guru rato (ayah ibu guru raja). Semuanya adalah poros moral yang harus dihormati dan memang menjadi rujukan prilaku luhur. Kaum priyai, raja, berposisi sejajar dengan guru dan nabi yang sama-sama mengemban ilmu dan agama dari Tuhan. Dari mereka kebaikan dan kebijaksanaan serta ilmu diperoleh. Mereka adalah orang suci dan mulia sehingga harus dihormati. Cangkolang dan ngabdi yang terkait dengan tola-basto dan barakah adalah konsep-konsep etis yang terkait dengan posisi poros-poros moral tersebut. Mereka juga menjadi standar moralitas sehingga menjadi contoh sekaligus menjadi standar moralitas orang lain dengan melihat sikap dan prilaku orang terhadap mereka.

Lebih dari itu, priyai-raja (parjaji-rato) dan kiai-nabi adalah “titisan Tuhan”. Mereka semua adalah orang-orang pilihan Tuhan yang mengemban amanat untuk menyebarkan ajaran sekaligus penyelamat dunia. Dengan demikian, selain selain posisi etis, mereka juga menempati posisi magis dalam struktur kosmis. Mereka dapat menentukan selamat dan celakanya seseorang karena memang merupakan ‘tangan’ Tuhan, sebagaimana juga terlihat dalam gelar para sultan dalam Islam: khalifatullah (wakil/pengganti Allah) dhillullah fi al- ardh (bayang-bayang Allah di bumi) dan lainnya.11 Ini yang memperlihatkan bahwa pandangan tentang cangkolang bukan sekedar konsep etis un sich, tapi konsep magis yang tidak bisa dilepaskan dengan pandangan kosmis. Artinya, ia merupakan konsep etis yang bernuansa magis. Secara sederhana, cangkolang kepada guru berarti salah pada agama. Salah kepada agama berarti salah kepada Tuhan. Begitu juga cangkolang kepada kaum priyai. Karena kedua posisi itu sejajar, sama-sama merupakan ‘tangan’ Tuhan.

Bagaimanapun cangkolang pada mulanya adalah konsep etis yang dinilai cocok dan terkait dengan sistem keyakinan sehingga dapat menjadi doktrin yang diajarkan turun-temurun dan mewarnai praktik pendidikan baik formal atau non formal dan informal. Efektivitas keberlakuannya didukung kuat oleh ritualisasi penghormatan guru/kiai dalam bentuk cabis (sowan) baik karena untuk kepentingan tertentu atau sekedar bertamu.12 Pada momen-momen tertentu, seperti 15 (nishfu)-Sya’ban, masyarakat berbondong-bondong menyalaminya untuk minta maaf atas segala ke-cangkolang-an. Untuk para guru yang telah meninggal dilakukan ziarah ke makamnya atau dengan mengadakan haul, bahkan muncul istilah haul akbar. Selain ritualisasi, stereotype bahwa guru/kiai adalah orang luhur berikut orang-orang yang secara genetis berhubungan dengannya turut memperkuat efektivitas cangkolang. Secara keseluruhan, keluarga guru/kiai adalah orang baik dan harus dihormati. Selain diwujudkan dalam prilaku dan tutur kata sesuai ondhege besa (tingkatan bahasa), juga diwujudkan dalam sebutan atau panggilan tertentu yang mencerminkan penghormatan seperti kiae, lora, nyai, ma’kae, ke toan, nyi toan dan sejenisnya, sebagaimana sebutan kehormatan kepada para priyai, kaum aristokrat dan raja.

Semuanya bekerja sama mendukung konsep etis cangkolang menjadi doktrin dalam sistem keyakinan. Karena menjelma doktrin dalam lingkaran sistem keyakian, cangkolang cenderung disederhanakan dan diterima begitu saja (taken for granted) dengan tidak kritis dan rasional, bahkan dibela secara emosional dan fanatik. Dengan pergeseran dari konsep etis ke sistem keyakinan dalam bentuk doktrin, muncul generalisasi sebagai akibat dari simplifikasi atas pengertiannya. Generalisasi dalam cangkolang terlihat dari kecenderungan pada generalisasi bahwa semua guru itu baik dan semua guru harus dihormati sekalipun bukan guru langsung atau bahkan tak pernah memiliki ikatan apapun. Secara tradisional, guru yang harus dihormati meliputi semua guru, bukan sekedar guru agama, tapi juga guru silat atau lainnya. Pandangan terhadap substansi cangkolang sebagai prilaku etis dan kesadaran untuk menyeleksi secara kritis figur yang benar-benar menjadi poros moral dan patut dihormati karena keluhuran budi pekertinya tidak menjadi arus kesadaran umum.

Cangkolang sebagai Titik Awal

Problem moral dalam ilmu pengetahuan menjadi persoalan masyarakat dunia. Bahkan sudah mulai terasa bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak disertai oleh kemajuan kebijaksanaan manusia. Karena itu memperbincangkan moral dalam dunia pendidikan menjadi penting sehingga juga diperlukan perumuskan lebih menyeluruh tentang konsep pendidikan berbasis moral. Konsep cangkolang pada tingkat tertentu menjadi penting untuk mendapat apresiasi. Dalam konteks pendidikan moral, ia dapat menjadi terapi awal untuk pembinaan moral selanjutnya pada aspek lain. Karena penerapan konsep cangkolang dalam bentuk prilaku bermoral adalah salah satu bentuk realisasi moralitas dalam interaksi dengan guru sebagai sumber ilmu. Misalnya, dengan terdidik untuk tulus menghormati guru, siswa diharapkan untuk juga tulus menghargai orang lain, bersikap sopan hingga turut berempati atas orang lain.

Ini akan lebih mungkin diwujudkan dengan mengembalikan guru pada posisi tradisionalnya sebagai poros moral di samping sebagai sumber ilmu. Mengembalikan guru ke posisi tradisionalnya menjadi penting karena masalah moral adalah masalah kesadaran yang diwujudkan dalam prilaku. Di sini ia sangat memerlukan figur untuk memberikan “sentuhan kemanusian” (human touching). Karena hal itu juga akan melibatkan emosi, selain sekedar rasionalitas, yang secara psikologis lebih memberikan pengaruh dari sekedar teori, konsep atau pesan-pesan verbal.13 Untuk menjadi poros moral, seorang guru harus bermoral terpuji dalam segala hal sehingga ia menjadi figur yang dapat memberi contoh dan inspirasi kepada para peserta didik untuk memegang teguh moralitas yang dimulai dari segala bentuk interaksi sehari-hari dengannya. Dari prilaku bermoral dalam interaksinya dengan guru dengan mempertimbangkan cangkolang, seorang peserta didik akan diarahkan untuk berprilaku bermoral dalam keseluruhan prilakunya secara keseluruhan.

Adanya kesadaran pada hal-hal yang termasuk cangkolang dengan kapasitas guru yang bermoral luhur, moralitas peserta didik akan dididik melalui prilaku, bukan sekadar dari pelajaran yang biasanya disampaikan melalui pelajaran agama, sementa ia cenderung menjadi materi pelengkap yang kurang diperhitungkan arti pentingnya. Hal ini juga perlu didukung oleh segenap aktivitas pendidikan yang menjunjung tinggi moralitas dan bersikap tegas (bukan keras) atas segala prilaku tak bermoral. Korupsi dalam pengertiannya yang luas harus dibersihkan dari lembaga pendidikan, tanpa toleransi apapun. Karena upaya pendidikan moral tidak hanya bertumpu pada guru, tapi juga perlu dukungan segenap sistem sehingga bisa menjadikan sekolah sebagai tempat “bebas immoralitas”.

Upaya ini juga perlu didukung oleh upaya penyadaran pada nilai-nilai penerapan segenap disiplin. Seorang guru harus terampil memberikan nuansa moralitas pada setiap materi yang diajarkan. Ini diharapkan akan membelokkan peserta didik dari orientasi “ilmu untuk ilmu” (science for science) ke “ilmu untuk kemajuan manusia” (science for the human progress).14 Apapun yang harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari bangku sekolah adalah untuk kemanfaatan dan peningkatan kualitas hidup umat manusia. Karena arus besar pandangan tentang orientasi pengembangan ilmu hanyalah sekedar demi ilmu yang sering dianggap netral, sementara penggunaannya tergantung kepada masing-masing individu. Berbagai teori yang ditemukan diposisikan sebagai teori yang bebas nilai atau sekedar untuk mengangkat prestise dan keuntungan material.

Yang barangkali juga penting dilihat adalah pemberian kesadaran atas prilaku cangkolang yang tidak terlalu menekankan pada aspek magis. Karena hal itu cenderung tidak diterima oleh nalar masa kini. Bukan menolaknya, tapi lebih memberikan eksplorasi rasional atas efek-efek cangkolang dan prilaku bermoral secara umum dalam kehidupan sosial. Hal ini searah dengan momen maraknya spiritualitas dalam berbagai aspek kehidupan yang dekat dengan moralitas, termasuk dalam berbagai disiplin ilmu. Disiplin fisika yang merasa gerah dengan dampak negatif teknologi terhadap kehidupan umat manusia memunculkan banyak gagasan untuk menghubungkannya dengan agama, moralitas dan spiritual. The Tao of Physics-nya Fritjof Capra adalah salah satu contohnya. Disiplin psikologi melahirkan psikologi transpersonal sebagai aliran baru menggantikan behaviorisme, psikonalisis dan humanistik. Ilmu ekonomi yang selama ini hanya berkutat dengan uang dan keuntungan juga memperlihatkan kecenderungan serupa. Roberth H. Nelson dengan gagasan economic theology dalam bukunya Economic as Religion (2001) adalah di antaranya.15

Basis moral dalam proses pendidikan diharapkan akan mencetak pribadi yang bijak dan bermoral luhur di samping berkeilmuan mempuni. Ilmu tidak sekedar dilihat sebagai alat untuk kepentingan teknis dan retorika yang ujung-ujungnya terlepas dari kepribadian pemiliknya sehingga ilmu menjadi impersonal. Ungkapan al-‘ilm bi la ‘amal ka al-syajar bi la tsamar (ilmu tanpa pengamalan bagai pohon tanpa buah) sangat tepat dalam konteks ini. Tentu saja pengamalan yang dimaksud adalah pengamalan dalam bentuk positif jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu teknik. Jika pada masa Yunani ilmu adalah bagian dari usaha mencari kebijaksanaan yang tercermin dalam istilah philosophia (cinta kebijaksanaan), dalam sejarah Islam segala jenis ilmu dipelajari dengan semangat religus yang kental: untuk membaca ayat kauniyat (tanda-tanda kosmik) Allah swt.16 Karena itu, peningkatan ilmu berjalan sejajar dengan peningkatan kualitas pribadi dan religiusitas.

* * *

1 Pandangan tentang dua fungsi pendidikan (normatif dan dinamis-progresif) di atas diambil dari Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, Yogyakarta: Ittaqa Press, cet. ke-2, 2001, hlm. 199. Pembagian ini sejalan dengan dua paradigma pemikiran dalam pendidikan (1) progresivisme yang memandang pendidikan sebagai cultural transformation dan (2) esensialisme yang melihat pendidikan sebagai cultural conservation.

2 Lebih lengkapnya lihat Frederick Copleston, A History of Philosophy, New York: Image Book, 1953, vol. 4, hlm. 100 dst.

3 Pengingkaran terhadap otoritas Kitab Suci dan Nabi serta tidak adanya pengakuan tehadap pengetahuan yang diperoleh secara intuitif ini yang disebut S. M. Naquib al-Attas sebagai visi sekuler yang bertentangan dengan metafisika Islam yang seharusnya menjadi dasar ilmu dalam Islam. Lihat Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, hlm. 113 dst.

4 Uraian sekilas tentang Bacon dapat dilihat antara lain dalam F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 27-28.

5 Jürgen Habermas mengulasnya panjang lebar dalam bukunya Knowledge and Human Interests, Boston: Beacon Press, 1971.

6 Hanya baru-baru ini saja muncul teori “kecerdasan emosinal” (emotional quotient) yang dirintis Daniel Goleman dan “kecerdasan spiritual” (spiritual quotient) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Kedua jenis kecerdasan itu merevisi pandangan kecerdasan tunggal (kecerdasan intelegensial) yang selama ini menjadi satu-satunya kecerdasan yang diakui, khususnya dalam dunia pendidikan.

7 Guru sebagai poros moral karena pada masa lampau, kualifikasi seorang guru adalah moralitasnya, sementara kualifikasi keilmuan nomor dua. Sebaliknya pada saat ini. Persoalan moralitas guru, penonjolan aspek ekonomi dalam profesi keguruan dan semakin ketatnya birokrasi dan formalitas pendidikan ditunjuk sebagai faktor mengeringnya interaksi guru dan murid sehingga murid tak menemukan figur dan sentuhan untuk memperbaiki moralitas dirinya. Lihat Azyumardi Azra, “Guru, Birokrasi dan Fobi Sekolah,” dalam Horison Esai Indonesia (Kitab 2), ed. Taufik Ismail, dkk., Jakarta: Horison, 2004, hlm. 351-357.

8 Sterotype tersebut justru diciptakan oleh orang Jawa yang merasa lebih maju, beradab dan santun. Lihat resensi Sindunata atas buku Huub de Jong Across Madura Strait dengan judul “Malangnya Orang Madura, Teganya Orang Jawa”, dalam Basis,no. 09-10 Desember 2006|

9 Meminjam pola hubungan akulturatif Islam dan budaya seperti yang dirumuskan M. Woodward dalam kajiannya terhadap Islam Jawa yang membantah teori Islam Sinkretiknya C. Geertz. Pola hubungan Islam dengan kultur lokal yang lain lagi ditunjukkan oleh Nur Syam dalam kehidupan masyarakat pesisir yang ia sebut dengan “Islam kolaboratif”.

10 Penghormatan terhadap guru telah ada sejak zaman dulu sebelum kemunculan Islam. Nakosteen menyebutkan bahwa tradisi penghormatan terhadap guru telah ada pada tradisi pendidikan Zoroastrian. Tradisi Islam adalah penerus tradisi tersebut. Walaupun praktiknya dalam sejarah keemasan Islam sekalipun, penghormatan terhadap seorang guru tidak sama, tapi tergantung pada : (1) tempat mengajar dan (2) tingkatan pendidikan tempat mengajarnya. Guru tingkat dasar di kawasan pedalaman tidak begitu dihormati, bahkan sering dilecehkan. Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, terj. Joko S. Kahhar, Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 76.

11 Poros moralitas ini memiliki banyak kesamaan dengan pandangan masyarakat Jawa, bahkan kultur lain dalam wilayah Nusantara, yaitu: orang tua dan raja. Pesan kuno Jawa mengatakan, orang yang menghormati guru, orang tua dan rajanya, berarti telah menghormati Tuhan. Lihat Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya, Jakarta: Gramedia, 1999, hlm. 315. Searah dengan ini, Denys Lombard memberikan deskripsi yang searah terkait dengan struktur sosial kultur agraris (Jawa) dengan meletakkan kaum pendeta (guru) dan bangsawan sebagai lapisan elit yang setingkat di atas masyarakat petani, yang sama-sama memiliki kekuasaan atas tanah sebagai komoditas utama masa lalu. Denys Lombard, Nusa Jawa, Jakarta: Gramedia, jld 3, 1996, hlm. 17. Bandingkan dengan ulasan menarik C. Sri Sutyoko Hermawan, “Krisis Masyarakat Agraris”, Kompas, Jumat, 01-12-2000.

12 Dalam ajaran Islam, bertamu atau selalu bersama para ulama atau orang bijak sangat dianjurkan karena akan memberikan manfaat untuk kehidupan, terutama secara spritual. Diantaranya ajaran Nabi saw yang dikutip Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam karyanya Nasaih al-‘Ibad ‘an al-Munabbihat ‘ala al-sti’dad ila Yaum al-Ma’ad (hlm. 4.) adalah: ‘alaikum bi mujalasat al-‘ulama’ (diberi penjelasan dengan “orang yang konsisten mengamalkan ilmunya [al-‘amilin ]) wa istima’ kalam al-hukama’ (maksudnya, menurut Nawawi: al-‘alimin bi dzat Allah). Fa inna Allah ta’ala yuhyi al-qalb al-mayyit bi nur al-hikmah kama yuhyi al-ardh al-maytat bi ma’ al-mathar. Dalam riwayat Thabarani dari Abu Hanifah: Jalisu al-kubara’ wa sa’il al-‘ulama’ wa khalith al-hukama’.

13 Pepatah Arab menyatakan lisan al-hal afshah min lisan al-maqal (bahasa sikap lebih tajam dari pada bahasa lisan).

14 Tentang dua bentuk orientasi ilmu: science for science dan science for the human progress, Lihat Kunto Wibisono, Ilmu Pengetahuan : Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk Memasuki Filsafat Ilmu, Materi Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Agama dan Filsafat, tahun akademik 2000/2001.

15 Ulasan atas buku ini bisa dilihat dalam www.nber.org/papers/w9682. Lengkapnya buku tersebut berjudul Economic as Religion: From Samuelson to Chicago and Beyond (University Par, PA: Penn State Press, 2001). Buku sebelumnya dengan gagasan serupa berjudul Reaching for Heaven on Earth: The Theological Meaning of Economics (Lanham, MD: Rowman & Littlefiels, 1991). Contoh lainnya adalah buku The Corporate Mystics karya Gay Hendricks dan Kate Ludeman, sebuah buku sukses berbisnis “dengan hati” dan menjunjung moralitas yang didasarkan pada wawancara pada ratusan pengusaha sukses di Amerika Serikat.

16 Dalam wujud kongkritnya, kegiatan keilmuan yang didorong oleh semangat religius antara lain terlihat dari kebiasaan Ibnu Sina mengambil wudhu’ dan shalat sunnat ketika berhadapan dengan persoalan pelik yang tak terpecahkan dalam bidang keilmuan, termasuk ilmu-ilmu alam dan kedokteran.

 

Biodata

Ach. Maimun Syamsuddin, kandidat doktor bidang Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menyelesaikan S2 di Program Studi Agama dan Filsafat di lembaga yang sama setelah menyelesaikan S1 di STIK Annuqayah. Lahir di pedalaman desa Jaddung Kecamatan Pragaan 4 Maret 1975. Selain santai di rumah, sesekali mengajar di STIK Annuqayah. Belajar menulis sejak MI dan aktif di majalah dinding sejak Mts. di Annuqayah.

 

 

 Back To Daftar Isi

MEMPERTIMBANGKAN PENDEKATAN BARU

Oleh : Muhammad Bisyri

 

GLOBALISASI, SEBUAH TANTANGAN

Globalisasi bukanlah diskursus baru dalam sejarah peradaban manusia. Dia sudah dimulai sejak lahirnya revolusi industri di Inggris, sekalipun ledakannya baru bisa dirasakan satu dasawarsa terakhir. Globalisasi tidak hanya menyangkut tata hubungan antara negara dan antar entitas, tetapi lebih dalam lagi menyangkut mode, trend, hingga transformasi nilai dalam sebuah lingkungan yang sudah tereduksi menjadi lebih sempit. Globalisasiakan mendorong pembentukan budaya global, sistem nilai, perilaku, gaya hidup yang universal dan mengerucut menjadi satu format budaya yang koheren dan homogen.17

Dalam perkembangan selanjutnya, globalisasi lebih teridentifikasi sebagai sebuah sistem yang secara tidak langsung menghilangkan sekat administratif antar negara, sehingga pada akhirnya kebijakan di negara manapun akan mudah untuk diakses oleh siapapun yang merasa berkepentingan tanpa harus melalui prosedur yang rumit. Globalisasi bergerak melintasi batas negara, seakan tanpa mengindahkannya, bukan hanya arus barang dan jasa, tetapi juga budaya, teknologi dan informasi. Pada titik yang lain muncul sebuah ketakutan dengan kekuatan yang maha dahsyat ini. Globalisasi dianggap sebagai momok yang sangat mengerikan yang siap melumat siapapun.

Harus diakui bahwa globalisasi akan melahirkan kelompok yang kalah dan yang menang. Kelompok yang kalah akan tersingkir dengan sendirinya. Kost yang dipertaruhkannyapun sangat tinggi, tetapi bukan berarti harus melahirkan globaphobia (orang yang takut dan tidak siap berhadapan dengan globalisasi). Globalisasi sudah menjadi bagian terpenting dari kehidupan di dunia, maka tidak ada jalan lain selain harus mengambil peran di dalamnya. Pada tahun 1994, Soeharto sudah menyadari kondisi tersebut. Dengan lantang dia menyatakan bahwa apapun resikonya, kita harus mengambil bagian dalam globalisasi.18

Dalam hal ini, peran teknologi, terutama teknologi informasi menjadi varian yang sangat vital, tanpa bermaksud mengecilkan aspek lainnya. Tetapi teknologi informasi telah mempercepat laju globalisasi, bahkan liberasi di berbagai sendi kehidupan manusia. Teknologi informasi berhasil menciptakan dunia lebih homogen dengan bersumbu pada satu budaya, budaya global. Budaya inilah yang kemudian terderivasi menjadi fragmen-fragmen kecil, seperti mode, trend, hingga pola pikir dan pola pandang, bahkan tidak menutup kemungkinan akan melahirkan berbagai bentuk keseragaman yang lebih terstruktur, seperti kebijakan ekonomi dan perdagangan, politik, hingga pola hubungan internasional.

Uniformitas ini berhasil menjelma sebagai kekuatan baru yang mewarnai seluruh dunia, sekalipun melalui pemaksaan-pemaksaan bahkan represifitas. Dengan sikap arogan, sistem tersebut berhasil memberikan warna dan corak baru dalam kehidupan bangsa-bangsa. Banyak sekali kejadian dan penilaian aneh yang lahir tidak berangkat dari kesadaran nurani, tetapi lebih pada penilaian global yang menginfeksi setiap sendi kehidupan bangsa-bangsa, antara lain : pandangan tentang Iraq, terorisme, Nuklir, komunis, Nazi, dan demokrasi.

Secara umum, setiap komunitas memiliki pandangan tersendiri tentang berbagai persoalan di atas, tetapi kekuatan yang menidentifikasikan dirinya sebagai kekuatan global memaksa setiap negara untuk memberikan penilaian yang sama terhadap persoalan-persoalan tersebut, sehingga wajar kalau pada akhirnya tercipta sebuah paduan suara yang secara serentak mengutuk rezim Iraq, pengayaan uranium untuk kepentingan proyek nuklir, hingga sinisme terhadap komunis dan Nazi. Sementara di sisi lain, muncul dewa baru yang lebih dikenal dengan nama demokrasi. Uniformitas ini akan mengepak sinfomi yang awalnya mengalun sebagai lantunan muzaik menjadi paduan suara yang hambar dan tidak bermakna. Keanekaragaman yang lahir sebagai fitrah kemanusiaan terpangkas atas nama kemanusiaan, yang sebenarnya hanya sebagai justifikasi.

Globalisasi melahirkan corak baru dalam tata hubungan antar bangsa. Dunia yang tidak lagi dikungkung oleh sekat administratif tertentu memungkinkan terjadinya intraksi yang tidak terbatas. Dalam tata hubungan ini, maka unsur sumber daya manusia menjadi pertimbangan utama untuk meningkatkan survivalitas. Dalam hal ini, yang paling bertanggung jawab adalah institusi pendidikan. Institusi pendidikan dianggap mampu mencetak manusia tangguh yang ditopang oleh ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk meningkatkan survivalitas pada masing-masing lulusannya. Dunia dihadapkan dengan pertarungan yang tidak lagi terbatas. Oleh karena itu tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk memenangkan pertarungan tersebut atau minimal mampu bertahan kecuali tersedianya tenaga-tenaga handal di berbagai bidang untuk menggerakkan laju pertumbuhan sebuah negara secara simultan. Tidak tersedianya tenaga yang cukup akan membuat suatu daerah hanya menjadi bahan eksploitasi oleh pihak lain.

Melihat pertimbangan di atas, yang perlu mendapat perhatian serius adalah lahirnya standarisasi. Gelobalisasi dengan sendirinya akan melahirkan keseragaman, di samping itu, gelobalisasi juga melahirkan tata hubungan yang tidak terbatas. Dalam kondisi demikian, maka akan muncul standarisasi yang diakui oleh semua komunaitas. Di bidang pendidikan, standarisasi itu lahir untuk mengukur kompetensi yang dimiliki oleh output sebuah institusi pendidikan. Standarisasi itu akan terbentuk dengan sendirinya berdasarkan kondisi dan kebutuhan umum masyarakat di semua negara, tanpa memperhatikan potensi dan kebutuhan di wilayah tertentu. Dengan demikian pemenuhan standar mutu internasional akan membantu peserta didik untuk bisa eksis di tengah pertarungan global. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah, bahwa institusi pendidikan yang ada di Indonesia masih belum memiliki kualifikasi yang cukup untuk memenuhi standar masyarakat internasional tersebut.

Persoalan kualitas lembaga pendidikan masih menjadi persoalan yang sangat rumit. Kondisi ini memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap output lembaga yang bersangkutan, sehingga secara umum berakibat pada lemahnya daya saing bangsa Indonesia di tengah percaturan dunia internasional. Dengan kata lain, Indoensia masih berlum siap menghadapi globalisasi dan segala bentuk derivasinya. Padahal globalisasi merupakan sebuah produk yang multiconsumer yang sudah terlanjur menggurita dan menggerogoti semua dimensi kehidupan masyarakat di dunia, sehingga disukai atau tidak, Indonesia juga akan terkena dampaknya, baik langsung maupun tidak langsung.

Untuk menanggulangi problem tersebut, maka peningkatan mutu pendidikan nasional harus menjadi prioritas, dan diharapkan mampu mendongkrak mutu sumber daya manusia sebagai outputnya, dan pada akhirnya akan menjadi media untuk meningkatkan survivalitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Peningkatan mutu pendidikan memang bukan masalah sederhana. Banyak tahapan yang harus dilalui, dan masing-masing tahapan memiliki hubungan yang sangat erat (baca : satu kesatuan). Langkah paling mendasar adalah menetapkan standar mutu pendidikan kita. Standar mutu tersebut harus dilakukan sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana program pendidikan itu terlaksana, sekaligus sebagai salah satu bentuk tanggung jawab lembaga pendidikan terhadap stakeholders nya. Rumusan standarisasi mutu pendidikan juga harus memperhatikan heterogenitas masyarakat kita (sosial ekonomi, budaya, etnis dan agama), plus kondisi geografis (sumber daya alam, letak geografis, kondisi demografis dan lainnya). Tanpa memperhatikan haterogenitas tersebut, maka rumusan yang dihasilkan menjadi absurd.

Dan yang lebih menyedihkan, standar mutu pendidikan kurang mendapatkan perhatian yang serius. Pemerintah (sebagai institusi yang paling bertanggung jawab) malah lebih tertarik untuk melakukan proyek pemerataan pendidikan, dengan harapan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesempatan yang sama—sekalipun tidak akan pernah sama—untuk mengenyam pendidikan, minimal pendidikan dasar dan menengah pertama.19

Proses pemerataan pendidikan selama ini menjadi ujung tombak penciptaan infra struktur dan suprastruktur pendidikan di Indonesia, tetapi proses tersebut belum mencapai target yang seharusnya. Masih terjadi kesenjangan yang cukup lebar antar beberapa kelompok masyarakat, baik dari segi equality of educational opportunity (kesempatan untuk mengenyam pendidikan) maupun equality of educational result (kesaman untuk mendapatkan hasil pendidikan).20

Masalah pertama (kesenjangan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan) sudah mulai teratasi, sekalipun masih memerlukan kerja yang lebih serius. Faktor geografis yang selama ini menjadi persoalan pelik, secara berangsur-angsur sudah teratasi. Lembaga pendidikan dengan semua jenjang pendidikannya telah merambah seluruh daerah hingga wilayah pedalaman. Proyek ini juga ditunjang dengan berbagai program penunjang yang lain, seperti pendidikan luar sekolah, beasiswa untuk peserta didik yang tidak mampu, dan lain sebagainya. Program-program tersebut untuk sementara bisa menjadi angin segar, terutama bagi kalangan tidak mampu atau masyarakat yang ada di daerah pedalaman.

Tetapi program pemerataan tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan. Kapitalisme yang menjadikan institusi pendidikan sebagai bahan komuditas masih memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Kapitalisme secara tidak langsung sudah menginfeksi dunia pendidikan di Indonesia, dan menjadikannya sebagai sesuatu yang rumit dan mahal. Dalam posisi demikian, maka kesenjangan untuk mendapatkan pendidikan yang layak masih belum mencapai target yang memuaskan.

Persoalan ini semakin rumit, ketika berhadapan dengan problem pemerataan hasil pendidikan (output dengan standar mutu yang setara). Distribusi lembaga pendidikan ke berbagai pelosok tidak disertai oleh distribusi mutu yang sejajar. Problem ini akan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat pedesaan dan berada di bawah garis kemiskinan. Sekolah yang ditopang dengan mutu dan kwalitas baik hanya tersedia di kawasan perkotaan plus dengan biaya yang cukup mahal. Kondisi ini dengan sendirinya akan menciptakan kesenjangan dan marginalilsasi bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama masyarakat pedesaan yang berekonomi lemah. Dengan demikian, mereka hanya akan bisa menikmati layanan pendidikan dengan mutu rendah yang tidak akan mampu mendongkrak kehidupannya menuju arah yang lebih baik.

Proses marginalisasi itu akan berlangsung terus menerus, hingga pemerintah memiliki political will untuk menghapuskan garis pemisah, salah satunya dengan cara memberikan kesempatan kepada semua masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu. Tanpa adannya kemauan politik dari pemegang kebijakan, maka marginalisasi itu akan terus berlanjut. Ironisnya, marginalisasi itu menimpa mayoritas masyarakat Indonesia, dengan asumsi bahwa mayoritas penduduk Indonesia berdiam di daerah pedesaan dan berekonomi lemah.

FORTIFIKASI, UPAYA MENIMBANG NILAI LOKAL

Gelobalisasi adalah trend yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat modern, tapi bukan berarti memberangus semua citra dan rasa kehidupannya. Di sisi yang lain, masih ada kecenderungan berbeda yang justru semakin kuat. Dalam tatanan kehidupan masyarakat, munculnya dua kecenderungan yang berlawanan seolah sudah menjadi hukum alam. Kedua kecenderungan tersebut tidak hanya berlawanan, tetapi saling meningkatkan intensitas tekanan masing-masing, tetapi pada akhirnya, secara berangsur-angsur melemah dan melahirkan kompromi-kompromi.

Untuk melihat realitas ini, kacamatan Heagel—dalam perspektif Idealisme Higelian—bisa dijadikan sebagai salah satu kerangka analisis. Heagel melihat sejarah bergerak dalam arena konflik. Menurutnya, suatu kebudayaan dianggap sebagai salah satu ekspresi yang absolut, suatu tesis yang dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan kebudayaan lain sebagai antitesisnya. Kedua kebudayaan ini akan bersaing dan pada akhirnya akan melebur dan menjadi kebudayaan ketiga sebagai sintesisnya. Marx juga berpendapat bahwa sejarah dibentuk di atas proses-proses pertentangan, tetapi pertarungan itu terjadi di dunia materialisme dan menjadikan materialisme sebagai titik pusat pandangannya tentang sejarah manusia, berbeda dengan Hegel. Sebagai penganut idealisme dia lebih menfokuskan pandangannya pada dunia ide. (L Pas, 2003 : 191).21

Salah satu pertarungan yang menarik untuk diamati adalah universalitas dan fortifikasi. Keduanya merupakan varian yang lahir dari sejarah panjang perjalanan globalisasi. Matinya komunisme dan berakhirnya pertentangan dua blok ideologi besar secara berlahan memberikan ruang yang lebih luas bekerjanya dua kekuatan yang saling berlawanan, kekuatan sentripetal universalisasi budaya global di satu sisi dan kekuatan sentrifugal fortifikasi di sisi yang lain. Universalisasi akan mendorong pembentukan budaya global, sistem nilai, perilaku, gaya hidup yang semakin universal dan mengerucut menjadi satu format budaya yang homogen. Sementara fortifikasi akan mendorong masyarakat untuk merupakan ekspresi perlawanan dan mekanisme pertahanan diri terhadap serangan yang demikian intensif dari arus besar universalisasi dan budaya global. Fortifikasi akan mendorong terbentuknya heterogenitas dan pembelahan unsur-unsur budaya dalam unit-unit yang lebih kecil yang pada akhirnya akan mengarah pada pluralitas dan kebheragamaan. 22

Sampai saat ini universalitas dan fortifikasi memiliki kekuatan seimbang, bahkan bekerja secara simultan walaupun sebenarnya keduanya memiliki sumber epistemologi yang berbeda. Universalitas akan bergerak menuju sesuatu kesadaran bahwa masyarakat bisa diformat menjadi satu fragmen besar, sementara fortifikasi menghendaki terbentuknya masyarakat yang heterogen yang mempertimbangkan keanekaragaman etnis, sosial, budaya, ekonomi, hingga masalah agama. Sekalipun berlawanan, keduanya memiliki keterikatan yang sangat kuat. Semangat universalitas akan semakin kuat mendorong masyarakat untuk semakin mempertegas identitas diri masing-masing berdasarkan keanekaragaman tadi. Merambahnya budaya barat—yang teridentifikasi sebagai budaya global—akan merangsang terlahirnya kaukus masyarakat dengan identitas diri yang lebih kuat pula. Universalitas akan mendorong ekspresi masyarakat terhadap budaya-budaya lokal masing-masing. Oleh karena itu, maka kebudayaan dunia akan diwarnai oleh paradok-paradok besar di atas, yang akan terjadi di semua level masyarakat, mulai dari tingkat regional, negara, hingga daerah, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap sistem budaya suatu entitas.

Sekalipun keduanya tidak saling menggerogoti, tetapi kesadaran bahwa masing-masing memiliki kelemahan yang cukup serius dan berpotensi membawa masyarakat pada sebuah kesadaran baru untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada dengan cara mengambil kelebihan yang ada pada masing-msaing pola tersebut. Universalitas dan fortifikasi juga akan saling mengurangi intensitas tekanannya pada yang lain. Dengan demikian akan mulai terbangun sebuah kompromi-kompromi, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap peta perkembangan kebudayaan di masing-masing wilayah. Inilah yang dalam analisa Heagel disebut sebagai kebudayaan sintesis.

Dunia pendidikan juga tidak bisa dilepaskan dari paradok-paradok di atas. Di satu sisi, pendidikan dipaksa untuk mengakui dan menggunakan standar yang sama di seluruh dunia, tetapi di sisi lain unsur lokalitas (baik nilai maupun kepentingan) juga butuh untuk dipertimbangkan. Kesadaran ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa pendidikan tidak dibangun di ruang hampa. Ia hadir melalui proses panjang untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Sedangkan kebutuhan masyarakat di suatu wilayah (daerah) akan berbeda dengan kebutuhan masyarakat di wilayah (daerah) yang lain. Perbedaan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian penting untuk merencanakan sistem dan standarisasi mutu pendidikan yang akan diterapkan.23

Untuk meningkatkan kemampuan apresiasi dunia pendidikan terhadap pertimbangan-pertimbangan lokal, maka agenda utama yang mendesak untuk segera diselesaikan adalah optimalisasi proses desentralisasi pendidikan. Proses ini diyakini akan mampu memberikan ruang yang lebih luas kepada fragmen-fragmen lokal alam menunjukkan eksistensinya, paling tidak, daerah memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memberikan warna dan pertimbangan logis kepada pemerintah dalam rangka menetapkan standar mutu pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan, akan melahirkan beberapa dampak yang cukup signifikan, antara lain : pertama, penataan dan peningkatan kemampuan sistem, kelembagan, iklim dan proses pendidikan yang demokratis dan memperhatikan mutu; kedua, pemberdayaan masyarakat sehingga memiliki kemampuan, kemauan, dan kepedulian penuh terhadap suksesnya penyelenggaraan pendidikan; ketiga, peningkatan mutu dan relevansi, mengingat bahwa pendidikan bukan hanya berorientasi lokal-daerah, tetapi juga menyangkut kepentingan nasional dan global; keempat, peningkatan akuntabilitas pendidikan sekaligus akuntabilitas institusi pendidikan sebagai induknya.24

Secara umum, desentralisasi hadir dengan harapan akan mampu memperbaiki kesalahan dalam menetapkan kebijakan yang selama ini diterapkan oleh pemerintah. Sentralisasi sebagai sebuah sistem dianggap gagal untuk mencitptakan perbaikan di semua sektor. Sentralisasi berpotensi menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam antara kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok lainnya. Sebagai koreksi, muncullah kebijakan desentralisasi. Dengan demikian, desentralisasi bukanlah kebijakan baru, tetapi tidak lebih dari sekedar koreksi terhadap kebijakan sebelumnya.

Indikator keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan bisa dilihat dalam beberapa hal, antara lain : pertama; sistem pola dan sistem manajemen dilaksanakan secara demokratis, kedua, mencerminkan pemerdayaan masyarakat, ketiga, pelayanan lebih cepat, efektif dan efisien, dengan dilakukannya deregulasi dan debirokrasi yang jauh dari bangsa KKN, keempat, mampu mengapresiasi keanekaragaman aspirasi, nilai, dan norma lokal.25

Proyek desentralisasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kondisi dan trend masyarakat internasional. Tren post modernisme sebagai koreksi terhadap krisis yang dialami oleh modernisme telah melahirkan varian baru, baik dalam dunia pemikiran maupun kebijakan. Cara berpikir yang uniform dianggap tidak layak untuk dipertahankan, sehingga harus didekonstruksi. Begitu juga pola pengambilan kebijakan yang cenderung terpusat dan linear harus dirombak dengan cara melakukan desentralisasi. Hanya dengan dekonstruksi maka kelemahan-kelemahan yang ada bisa dikoreksi.

Secara umum, yang menjadi pertimbangan logis pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah : pertama; wilayah Indonesia secara geografis luas dan memiliki disparitas kualitas, kedua, multi kultur, etnik, sosial, agama dan bahasa daerah, ketiga, populasi penduduk yang tidak merata, keempat, perbedaan lingkungan dan gaa hidup antar wilayah, kelima, perkembangan yang cepat dan dinamis, dan keenam, keinginan untuk memberdayakan dan memanfaatkan daerah sebagai leading sector pembangunan nasional.26

Desentralisasi juga memberikan imbas positif terhadap dunia pendidikan. Kebijakan pendidikan baik menyangkut kurikulum, standarisasi penilaian, hingga kebijakan teknis lainnya yang selama ini dipegang oleh pemerintah pusat, mulai didistribusikan ke daerah-darah. Daerah memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan pendidikan di lingkungannya sendiri, sekalipun masih ada batasan-batasan yang tetaptidak bisa dilangkahi.

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan memiliki kekhasan dan tingkat kerumitan tersendiri, berbeda dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Proses desentralisasi pendidikan memerlukan analisis permasalahan daerah secara utuh, di samping juga visi dan misi pendidikan khususnya muatan lokal dengan mempertimbangkah ideologi, budaya, sosial ekonomi, kondisi geografis dan pertimbangan lainnya. Kesalahan dalam melakukan pembacaan akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu, desentralisasi juga dihadapkan dengan terbatasnya sumber daya yang dimiliki oleh tiap daerah, 27 terutama daerah - daerah yang berada di luar pulau Jawa.

Desentralisasi pendidikan yang selama ini dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia masih mengandung banyak kelemahan. Salah satunya yang paling kongkrit adalah sistem birokrasi yang masih terkesan rad tape.28 Sistem birokrasi yang gemuk akan menyedot anggaran cukup besar sehingga anggaran pendidikan yang seharusnya diproyeksikan untuk biaya pembangunan (fisik dan non fisik) tersedot untuk biaya rutin. Di samping itu, kesadaran dari pihak yang berwenang untuk menyediakan anggaran untuk fasilitas (minimal) masih sangat rendah. Sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan dan peningkatan mutu pendidikan yang diselenggarakan.

Persoalan lain yang tidak kalah pelik adalah penetapan standar mutu yang harus dicapai. Penentuan standar mutu yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat dianggap tidak aspiratif dan tidak mewakili kepentingan daerah-darah. Pemerintah cenderung melihat mutu pendidikan dalam perspektif pendidikan nasional dan global. Tetapi di sisi lain, pemerintah di daerahpun masih belum mampu merumuskan standar mutu dan kompetensinya. Pemerintah daerah juga cenderung terlena dengan pertimbangan aspek-aspek kebutuhan lokal, dan kurang mampu mengapresiasi kebutuhan nasional dan perkembangan internasional.

Untuk meminimalisir persoalan di atas, maka pemerintah pusat dan daerah seharusnya duduk bersama untuk membicarakan standar mutu yang harus ditetapkan, tentunya dengan memperhatikan tiga aspek utama, yaitu kebutuhan daerah, nasional dan kompetensi internasional. Yang menjadi pertanyaan kemudian, mampukah desentralisasi dengan aspek kekayaan nilai lokalnya mempertahankan eksistensi di tengah persaingan di level nasional dan internasional? Pertanyaan ini menjadi penting untuk mempertegas peran institusi pendidikan sebagai media untuk memberikan keterampilan hidup kepada peserta didiknya. keterampilan hidup memiliki arti yang cukup luas sesuai dengan tuntutan kehdupan peserta didik yang bersangkutan. Dalam sekala kecil, mungkin peserta didik hanya dihadapkan dengan persoalan lokalnya sendiri, tetapi dalam kondisi tertentu peserta didik tidak bisa menutup diri dari pergaulan global dan dihadapkan dengan kehidupan dunia yang lebih kompleks.

Pendidikan juga diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk hidup 5 sampai 10 tahun berikutnya. Maka melakukan antasipasi untuk kepentingan peserta didik menjadi urgen. Dengan kemampuan memprediksi kondisi yang akan terjadi pada saat peserta didik harus eksis, diharapkan akan mampu memberikan gambaran sekaligus menyiapkan kualitas output lembaga pendidikan sesuai dengan kebutuhan pada masanya, karena guru tidak hanya menyiapkan peserta didik untuk hidup pada saat ini, tetapi lebih jauh dia akan mempersiapkannya untuk hidup pada masa yang akan datang.

MENUJU SURVIVALITAS

Desentralisasi merupakan angin segar bagi upaya pemerataan pembangunan di Indonesia. Pendidikan sebagai salah satu infra struktur terpenting akan mendapatkan perhatian khusus. Desentralisasi tidak hanya mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, tetapi lebih menekankan pada good will pemerintah untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengembangkan daerah dan mengatur rumah tangganya sendiri secara bebas. Di samping itu, desentralisasi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mentukan arah dan orientasi program pembangunan di darahnya sendiri.

Proyek ini juga berdampak besar terhadap perkembangan pendidikan. Desentralisasi pendidikan diarahkan untuk memberikan rangsangan kepada masyarakat daerah untuk lebih inovatif dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayahnya.29 Banyak trobosan yang telah dilakukan, mulai yang berhubungan dengan tersedianya anggaran yang memadai, hingga penyempurnaan sistem yang akan diterapkan. Terobosan-terobosan tersebut diproyeksikan sebagai langkah awal untuk meningkatkan mutu dunia pendidikan sendiri.

Kritik dan evaluasi ini memiliki peran yang sangat signifikan, paling tidak ada semacam kesadaran bersama bahwa pendidikan yang selama ini berjalan tidak mampu mencapai idealisasinya. Salah satu bukti sah adalah, masih rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini, sedangkan kwalitas sumber daya manusia sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari institusi pendidikan. Dengan kesadaran tersebut, diharapkan muncul upaya-upaya perbaikan yang fundamental dan radikal menuju kearah yang lebih baik.

Pasca reformasi, diskursus peningkatan mutu pendidikan menjadi perbincangan menarik, dan terbukti mampu melahirkan beberapa gagasan. Tetapi sampai saat ini belum memenuhi target yang diinginkan. Perbiakan yang dilakukan selama ini masih terkesan lip service, normatif, dan aksidental. Tidak ada upaya dekonstruktif yang mampu menghadirkan wajah baru dalam pendidikan kita. Ketidakseriusan ini semakin diperparah oleh kinerja lembaga berwenang. Untuk menanggulangi persoalan ini, maka diperlukan reformasi paradigmatik dalam rangka melakukan reorientasi arah dan model pendidikan yang akan dikembangkan. Tanpa ada reformasi ini, maka harapan untuk melakukan perbaikan secara fundamental tidak akan pernah terjadi.

Hadirnya isu desentralisasi, kemudian melahirkan ide untuk mengembalikan pendidikan pada kebutuhan darah. Sederhananya, sekolah perlu memahami karakteristik daerah di mana dia eksis dan mengintegrasikannya ke dalam sistem pendidikan yang akan ia bangun. Ide ini merupakan salah satu bentuk reaksi dari kalangan praktisi untuk memperbaiki pesoalan-persoalan akut yang selama pemerintahan Orde Baru—atau mungkin sampai saat ini—masih tetap terlestarikan. Mereka melihat bahwa kebijakan pendidikan selama ini cenderung tidak aspiratif terhadap kebutuhan daerah. Imbasnya, output institusi pendidikan justru tidak mampu survive dan menyelesaikan persoalan-persoalan di daerahnya.

Kebijakan problematik yang menarik untuk dianalisis adalah sentralisasi kebijakan pendidikan, mulai dari sistem, perencanaan, evaluasi, sampai pada tingkatan kurikulum. Pada zaman pemerintahan sentralistik, semua kebijakan bersumber dari pemerintah pusat, termasuk juga kebijakan tentang pendidikan. Daerah hanya menjadi pelaksana teknis yang tidak memiliki hak untuk menentukan kebijakan.

Kebijakan ini menjadi tidak populer, karena bangsa Indonesia memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi, baik dalam tataran geografis, etnis, agama, dan sumber daya yang dimilikinya. Heterogenitas akan melahirkan kebutuhan dan karakter yang berbeda-beda pula.30 Sementara di sisi lain, kebijakan pemerintah tentang pendidikan lebih banyak bersumber pada kebijakan beberapa gelintir orang dan hanya mampu mengakodir kepentingan beberapa daerah saja. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian—terkesan—dipaksakan penerapannya di semua sekolah, tanpa memperhatikan kebutuhan peserta didik yang heterogen.

Pada masa Orde Baru, yang menjadi tujuan utama institusi pendidikan adalah mencetak anak didik yang memiliki kemampuan untuk berintegrasi dengan dunia kerja. Output lembaga pendidikan diarahkan untuk menjadi tenaga kerja siap pakai di semua sektor. Pada zaman penjajahan Belanda, kebijakan ini lebih dikenal dengan politik etis, di mana rakyat Indonesia dididik oleh pemerintah kolonial untuk menjadi tenaga siap pakai dan murah demi menunjang pembangunan industri. Kebijakan ini masih relevan, selama tidak diikuti dengan eksploitasi terhadap sumber daya manusia oleh kelompok-kelomopok tertentu.

Untuk mendukung tujuan tersebut, maka pemerintah merumuskan sebuah kurikulum dan perangkat evaluasinya yang harus diterima oleh semua sekolah. dengan hanya menekankan pada satu aspek saja (integrasi ke dalam dunia kerja) sebagai pusat peredarannya, maka output institusi pendidikan akan tercetak seperti robot yang diformat sebagai tenaga kerja untuk kepentingan perancangnya.

Uniformitas kebijakan ini dianggap telah gagal menjalankan fungsinya, maka rumusan kebijakan baru mutlak untuk dihadirkan sebagai alternatif. Kebijakan dimaksud harus memasukkan pertimbangan keanekaragaman budaya, sumber daya alam, hingga kecenderungan masyarakat suatu daerah yang selama ini tidak terapresiasi dengan baik sebagai pertimbangan utama. Maka diperlukan itikad baik dari para pemegang kebijakan untuk melakukan penelitikan lebih mendalam. Unsur-unsur kepentingan lokal itu harus dijadikan sebagai referensi awal untuk menetapkan setiap kebijakan yang berhubungan dengan pendidikan di daerah yang bersangkutan.

Kebijakan ini masih memiliki banyak sekali kelemahan yang harus dibenahi secara bersama-sama. Desentralisasi dihadirkan sebagai koreksi, tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa pendekatan baru itu akan mampu memperbaiki dunia pendidikan kita. Jaminan perbaikan akan bisa diperoleh jika pemegang kebijakan menggunakan paradigma baru sebagai dasar pijaknya, karena paradigma baru dengan sendirinya akan melahirkan aksi yang baru pula.

Sampai saat ini, pemerintah masih cenderung menggunakan kebijakan konvensional yang diwarisinya dari pemerintahan Orde Baru. Dekonstruksi yang seharusnya dihadirkan sebagai upaya untuk merombak tatanan paradigmatik yang tidak produktif belum bekerja sebagaimana mestinya. Upaya-upaya perbiakan yang dilaksanakan masih jauh dari substansi persoalan. Kebijakan ini belum mampu mendongkrak fungsi pendidikan dalam melahirkan sumber daya yang diharapkan dapat mendongkrak martabat bangsa Indonesia di tengah pertarungan global.

Beberapa kasus problematik yang menarik untuk diamati, antara lain : pertama; Dalam mengembangkan kebijakannya, pemerintah masih berorientasi pada kemampuan lulusannya untuk masuk di dunia kerja. Artinya, peserta didik dilatih untuk menjadi tenaga kerja handal sekalipun yang tidak memiliki kreativitas di luar kepentingan pekerjaannya. Lebih jauh lagi, pendekatan ini akan melahirkan individu yang statis dan tidak mampu memahami kondisi lingkungan di mana dia berada.

Untuk menanggulangi kekhawatiran di atas, maka model pendidikan yang berbasis lokal harus dikawal secara ketat, karena dikhawatirkan otoritas pendidikan terlena dan tidak mampu mengintegrasikannya ke dalam sistem yang bisa membawa peserta didik untuk survive di tengah pertarungan global. Integrasi ke dalam dunia kerja bukan satu-satunya kebutuhan manusia untuk survive, tetapi yang tidak kalah penting sebenarnya adalah kemampuan dalam memahami diri dan lingkungannya serta memiliki kreativitas untuk mengembangkan dirinya secara baik. Untuk itulah, lembaga pendidikan seharusnya mampu memberikan life skill kepada peserta didiknya.31

Kedua, mengintegrasikan tiga kepentingan yang berbeda, lokal, nasional dan global. Potensi daerah, sosial budaya, ekonomi dan kekhasan lainnya kembali dilirik untuk menjadi penggerak utama sistem pendidikan yang akan dibangun. Upaya itu dilakukan untuk memberikan menciptakan pendidikan sebagai lokomotif bagi pembangunan di daerah masing-masing. Sementara di sisi lain, dengan dicanangkannya ISO pada tahun 2001 dan AFTA tahun 2003, Indonesia telah memasuki medan global, dan tidak ada pilihan lain kecuali mengambil peran di dalamnya. Salah satu syarat mutlak untuk eksis di tengah pertarugan itu adalah tersedianya sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam konteks global pula.

Dalam paradok seperti ini, yang harus dilakukan adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing di dunia global tanpa harus melupakan potensi potensi lokal yang dimilki atau bahkan memanfaatkan potensi lokal untuk meningkatkan daya saing global. Yang menjadi kekhawatiran mampukah daerah menyusun sebuah agenda pendidikan baru yang bermuatan lokal dan memiliki kompetensi internasional? Pertanyaan tersebut harus menjadi pertimbangan utama agar output institusi pendidikan mampu menjalankan fungsi pendidikan nasional dengan baik.

Ketiga, Domistikasi dan pembodohan. Tujuan pendidikan selama ini lebih terfokus pada persoalan kemampuan outputnya untuk berintegrasi dengan dunia kerja. Perbaikan sistem dengan menggunakan desentralisasi sebagai generatornya tidak mampu menghadirkan paradigma baru. Dalam kondisi demikian, animo masyarakat lebih tercurah pada pemenuhan kebutuhan lapangan kerja. Di satu sisi, peran ini sangat fundamental, terutama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara material, tetapi di sisi lain akan memberangus daya kritis dan kreatif peserta didik.

Proses ini lebih dikenal dengan domistikasi, yaitu upaya untuk melemahkan nalar kritis masyarakat dan menjinakkannya dengan menggunakan pendekatan tertentu. Domestikasi memang sudah tidak lagi menjadi target dalam pendidikan, sebagaimana pada masa pemerintah Orde Baru, tetapi peran itu bisa saja muncul di bawah alam sadar dan menggerogoti ruh pendidikan itu sendiri. Konsentrasi untuk mengintegrasikan output lembaga pendidikan dengan dunia kerja akan melemahkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap berbagai persoalan yang muncul di lingkungannya, dan tidak menutup kemungkinan akan melahirkan insan-insan eksklusif, yang sama sekali tidak peka terhadap situasi lingkungannya.

Untuk mengawal persoalan tersebut, maka tidak ada salahnya kalau kita kembali melihat pendidikan kedap masalah yang digagas oleh Paulo Fraire, yaitu sistem pendidikan yang menghadapkan guru dan murid pada maaslah kemanusiaan dalam hubungannya dengan dunia. Pola pendidikan ini menghendaki masyarakat sebagai subyek dan obyek pendidikan sekaligus menghendaki munculnya kesadaran kaum tertindas untuk senantiasa kritis terhadap kondisi lingkungan dan problem-problemnya.32

Gagasan tersebut lahir dari sebuah pertimbangan bahwa pendidikan ternyata hanya menjadi mercusuar dan lembaga eksklusif yang sama sekali tidak peka terhadap kondisi sosial. Sementara penguasa yang berkolusi dengan kelompok kapitalis melakukan tindakan-tindakan penindasan. Dalam konteks kekinian, pendidikan yang kedap masalah diharapkan mampu membantu peserta didik untuk melihat situasi sosial secara kritis, serta mampu melakukan perubahan-perubahan secara signifikan.

 

17. Kertajaya, Hermawan, Universalisasi Versus Fortifikasi (Paradok Periklaku Konsumen Indonesia), Kompas, 28 Juni 2000, hal 61.

18 Soesastro, Hadi. 2000. Setelah Muncul Globaphobia, Harus Bagaimana Hadapi Globalisasi, Kompas, 28 Juni 2000, hal. 32

19. Hanani, Silfia,. 2003. Menggugat Dunia Pendidikan, Kompas, 13 Agustus 2003.

20. Tambunan, Frietz, R. 2004. Revolusi Pendidikan Egaliter, Kompas, 28 Oktober 2004.

21 . L Pas, Daniel. 2003. Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Agama (terj. Inyiak Ridwan Muzir, dkk), Yogyakarta : Ircisod, hal. 191.

22. Lihat : Kertajaya, Hermawan, Op.Cit, hal . 64. Tapi Hermawan melihat bahwa fortifikasi bukan sebagai reaksi terhadap munculnya universalisme. Keduanya merupakan varian yang secara bersama-sama muncul dalam sejarah kebudayaan manusia. Berbeda dengan penulis yang memahami bahwa fortifikasi justru muncul sebagai salah satu bentuk kebudayaan antitesis yang lahir akibat tekanan yang dilakukan oleh universalisme atau bahkan —lebih ekstrem lagi—sebagai akibat dari krisis di tubuh universalisme.

23. Dalam hal ini Aristoteles mengatakan bahwa dunia pendidikan juga harus memperhatikan segmen, waktu, dan kondisi lain yang dianggap relevan. Aristoteles mengangkat kasus pendidikan untuk raja dan calon raja, kondisi perang dan damai serta kondisi kejiwaan peserta didik sebagai slaah satu ilustrasi. Kondisi-kondisi tersebut akan menjadi salah satu pertimbangan bagi proses pelaksanaan pendidikan. Lihat : Aristoteles, Politic. Terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta : Bentang 2004, hal. 349.

24. Redaksi, 2004. Pendidikan Indonesia Alami Proses Evolusi, Kompas, 04 september 2004.

25.Arifin, Imron. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekkolah, Kediri : Jurnal Empirisma, Edisi 1/No.08/2002, hal. 27.

26. Ibid, hal. 27

27. Suyanto, Prof, Dr. 2002. Prioritas Pendidikan di Derah Otonom, Kompas, 15 Pebruari 2002.

28. Rad tape : pita merah, biasanya dipakai untuk menunjukkan sistem birokrasi yang berbelit-belit, dan mengandung potensi biaya tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sistem birokrasi yang buruk, di samping India dan Veatman. Bahkan PERC (Political dan Economi Risk Consultancy) pada tahun 2000 memberikan sekor 8.0 dari kisaran 0 sebagai nilai terbaik dan 10 nilai terburuk. Lihat Jurnal MTI, Nopember 2000.

29. Kompas, 12 Januari 2001

30. Masalah pendidikan orde baru.

31. Istilah Life skills dipopulerkan kembali di Indonesia oleh Malik Fajar, salah seorang praktisi pendidikan yang menjadi mentri pendidikan pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Life skills diharapkan mampu memberikan bekal kepada peserta didik untuk dengan kemampuan dan keterampilan untuk menjalani kehidupannya, serta mampu berbuat di tengah masyarakatnya. Menurut Malik, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula peran yang dapat dia lakukan ditengah-tengah masyarakat. Kompas, 2 Januari 2002.

32. Dzakiri, Hanif. 2000. Paulo Fraire, Islam dan Pembebasan, Jakarta : Jambatan, hal. 71.

 

Biodata

Muhammad Bisyri, lahir tanggal 01 Maret 1980 Alumni Fakultas Syari'ah Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah tahun 2005 Mantan Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Timur 2003-2005, Koordinator Hubungan Masyarakat Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU Cabang Sumenep tahun 2005-2010.Aktifis Aliansi Intelektual Nahdliyyin (alien). Pemimpin Redaksi Majalah Kritis 2006.

 

 

 Back To Daftar Isi

PEMANUSIAAN ANAK, REVITALISASI PENDIDIKAN NILAI KELUARGA DI TENGAH ARUS GLOBAL

YANG MENGIKIS BUDAYA MADURA

OlehSyaiful Rahman Dasuki *)

 

Ada tiga hal yang menentukan kepribadian seseorang. Ketiga hal itu adalah pertumbuhan fisik, pertumbuhan mental dan pertumbuhan emosi. Hal ini tentunya tidak lepas dari rangsangan lingkungan sosial si anak. Di sini lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah juga turut berperan.

Menyoal lingkungan sosial, dapat kita amati bagaimana secara kasat mata lingkungan sosial kita tengah mengalami transformasi nilai dan budaya yang cukup signifikan. Nilai-nilai luhur yang dulu dianut oleh masyarakat, sebagian mulai bergeser atau bahkan ditinggalkan berganti dengan nilai-nilai baru yang tidak semuanya sesuai dengan nilai-nilai sebelumnya. Transformasi nilai ini berimplikasi langsung pada budaya masyarakatnya.

Dalam perspektif nilai dan budaya Madura, akankah kita membiarkan proses transformasi ini menggelinding begitu saja?

Pendidikan Nilai dan Budaya Madura, Antara Harapan dan Penghancuran

John Dewey (dalam Syam, M. Noor, 2001: 4) menyatakan " Value is any object of social interest". Dalam hal ini Dewey menekankan interest (=minat, kepentingan) individu atau masyarakat. Makna nilai ini dapat dipandang secara subjektif dalam kaitannya dengan hak manusia pribadi dan bermakna imperatif dalam kaitannya dengan tatanan sosial dan transendental. Inilah sisi kewajiban manusia sebagai amanat dari Maha Pencipta. Manusia wajib menghormati pribadi manusia lain, lebih-lebih manusia wajib menegakkan kebenaran dan keadilan. Jadi nilai bersifat universal demi martabat manusia.

Menyoal tentang martabat manusia, maka kita akan segera tergerak pada bidang tansendental. Memaknai manusia dalam kiprahnya di dunia saja terasa sekali kekurangannya, karena manusia adalah makhluk khusus yang mengemban amanah Tuhan di muka bumi. Dengan demikian membahas nilai-nilai yang dimiliki manusia maka pada hakekatnya kita mulai memasuki makna manusia seutuhnya.

Keutuhan yang dimaksud bisa berupa antara jasmani dan rohani, antara hari ini (to day) dan hari depan (the day after), antara membumi (hablum minannas) dan melangit (hablum minallah), antara peran sebagai ciptaan tuhan (makhluk) dan pengemban amanah (Khalifatullah fil Ard). Dengan pola pikir ini, maka nilai-nilai yang diharapkan berkembang pada diri anak merupakan nilai yang utuh dan paripurna.

Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni nilai-nilai sosio-budaya dan nilai-nilai religius. Nilai-nilai sosio-budaya mempunyai karakter berubahlberkembang dan bersifat relatif sesuai dengan peubahan/perkembangan pola pikir dan pola tindak masyarakatnya.Sedangkan nilai-nilai religius bersifat mantap/ajek (walau mungkin tidak diterapkan secara konsisten oleh penganutnya) karena nilai-nilai ini pada dasarnya merupakan nilai-nilai baku yang tertuang di dalam Kitab suci.

Kaitannya dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Madura, maka sebuah realitas global juga tengah melanda. Realitas tersebut: Pertama arus informasi yang semakin cepat, kedua transfer budaya visual dan ketiga pola hidup hedonis-materialis. Realitas inilah yang tengah menggempur tatanan nilai-nilai luhur dan budaya lokal.

Arus informasi yang semakin cepat pada awalnya diperuntukkan mengatasi hambatan komunikasi karena kendala jarak. Teknologi informasi (TI) memungkinkan komunikasi yang cepat, akurat, fleksibel dan mobil. Tak dipungkiri kegunaannya sangat bermanfaat bagi pengembangan kehidupan masyarakat. Namun dampak pengiringnya yang kadang memiriskann kita, ambil salah satu yang paling menonjol yakni berupa pornografi. Di dalam perangkat TI seperti internet, akanlah sangat mudah kita mengakses beribu-ribu situs-situs porno. Belum lagi materi/konten porno daki sebuah Hand Phone (HP) baik bertipa gambar maupun video yang dapat beredar diantara pengguna HP dengan sangat mudah dan cepat. Jelas hat ini sangat mempengaruhi/mengikis nilai-nilai luhur dan budaya Madura terutama di kalangan generasi muda.

Realitas kedua yang tengah melanda dan mengancam nilai-nilai luhur budaya Madura adalah transfer budaya visual. Transfer budaya visual yang dimaksud ialah tayangan televisi dan media cetak.

Semenjak era reformasi, dunia pertelevisian dan media cetak mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Luar biasa dalam arti jumlah dan jenisnya. Perijinan penerbitan yang semakin mudah dan kebebasan pers, telah menumbuhsuburkan kedua jenis industri ini. Namun seperti halnya TI, media visual (Televisi dan Media cetak) juga terjebak dalam pornografi dan kekerasan. Meski kadar pornografinya tidak separah TI, namun bila ditinjau pada efek perilaku masyarakat maka pengaruh tayangan televisi dam media cetak lebih luas dan menimbulkan sikap permisif bahkan perilaku imitatif pemirsanya.

Mencermati tayangan-tayangan televisi, terasa sekali pihak pengelola televisi (manapun) bersikap mendua alias munafik. Perhatikan saja bagaimana media elektronik yang di pagi hari penuh dengan acara siraman rohani dan menawarkan nilai agama, beberapa jam kemudian menjadi ajang efektif bagi penawaran gaya hidup hedonistis yang kadang berlawanan dengan nilai-nilai Agama. Bahkan di beberapa stasiun televisi pada jam 22.00 keatas, menampilkan tayangan yang mengumbar syahwat baik berupa musik yang mengusung artis-artis pendukung pornoaksi maupun berupa sinetron/film yang bagi orang waras agamanya jelas merupakan tayangan porno.

Adapun media cetak lebih seru lagi. Cukup bermodalkan uang sekitar Rp. 5.000,- kita semua (termasuk remaja-remaja di bawah umur) dengan sangat mudahnya dapat membeli Koran/tabloid/majalah yang mengumbar aurat wanita. Dengan dalih seni, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers para pelaku bisnis ini jelas sudah mengabaikan nilai-nilai agama dan budaya demi keuntungan peribadi/perusahaan.

Belum lagi yang bersifat illegal seperti VCD porno maupun majalah porno. Kedua barang ini meskipun dinyatakan illegal oleh pemerintah, namun keberadaannya sungguh mudah didapat. Agaknya razia-razia yang dilakukan oleh dinas pemerintah yang terkait permasalahan ini, tidak dapat menanggulangi secara total penyebaran kedua macam media ini.

Akar dari permaslahan-permasalahan di atas adalah realitas ketiga yakni gelombang besar pola hidup hedonis-materialis. Inilah panglima yang menggusur nilai-nilai luhur agama dan budaya kita. Berpikir, bertindak hingga pandangan hidup hedonis-materialis mengutamakan kesenangan hidup duniawi dengan penguasaan materi (harta) sebagai alat untuk meraihnya. Tak peduli dengan nilai-nilai agania dan budaya, yang penting senang dan menang.

Walhasil dari ketiga realitas ini pada kaum muda (alam hal ini juga di Madura) tampak dalam ekspresi pola hidup mereka. Meski tidak semuanya, lihatlah bagaimana mereka berpakaian, bertutur hingga bergaul dengan teman sebayanya. Mereka tidak asing dengan pola baju modis yang sedang ngetrend meski kadang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya madura. Dari cara bertutur, perhatikan bagaimanan mereka lancar menggunakan istilah-istilah gaul dikalangan mereka. Namun cobalah ajak mereka bercakap-cakap menggunaka bahasa madura pada tingkat enggi-bunten, pastilah sebagian besar mereka tergagap-gagap. Perhatikan pula saat mereka berpesta merayakan budaya-budaya global yang diimpor dari barat seperti pesta ulang tahun, pesta tahun baru atau pesta yang bulan pebruari baru-baru ini dirayakan yakni Valentine Day. Dan sekali lagi coba tanyakan apakah mereka tahu budaya lokal seperti kerraban sape, sape sono ', saronen, mamaca/macopat, topeng dhalang, rokat tase', pangantan legha, pangantan dhuk­remmek dan budaya lain yang tak mungkin dipaparkan semuanya di sini.

Budaya-budaya lokal madura tersebut jelas mengusung muatan nilai-nilai luhur sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai yang dianut masyarakat Madura. Namun kita semua sadar terdapat suatu stereotype negatif yang melekat pada orang madura seperti carok. Walau kasus carok kadang mendapat pembenaran dari beberapa tindak kekerasan di Madura, data statistik mutakliir menunjukkan keCenderungan penurunan kasus carok. Tentulah hal ini menggembirakan kita, bagaimanapun penyelesaian konflik secara kekerasan (baca= carok) bukanlah cara­cara yang bijak.

Tetapi lingkungan sosial kita tidak serdata-mata diwArnai oleh ekspresi nafsu hedonis-materialis, akan tetapi perhatikan juga bagaimana kekerasan sosial yang katanya berasal dari kalangan "terhormat" semacam ekspresi politik pemimpin kita.

Menilik pemimpin kita (dari kelas lokal hingga nasional) rasa-rasanya untuk menemukan kembali situasi demokratis yang berkeadaban, sebagaimana yang diperlihatkan oleh pemimpin politik di zaman awal kemerdekaan dan satu dekade setelahnya, sudah menjadi amat sulit. Bila pemimpin-pemimpin kita tidak mempunyai sopan santun politik, hingga mereka memvisualkan tanpa perasaan bersalah, apatah lagi rakyatnya?

Ada apa dan siapa di balik fenomena ini? rasanya pertanyaan ini pantas diajukan, sebab hampir diluar nalar kita pada abad yang diramalkan futurolog sebagai abad kebangkitan agama, masih ada orang yang mempersetankan nilai-nilai agama yang luhur, termasuk kepantasan sosial-budaya. Lebih dari itu, tidak mempertimbangkan pengaruhnya bagi perkembangan moralitas kaum muda.

Pemanusiaan Anak dalam Keluarga, Sebagai Beriteng Ketahatian Sosial­Budaya

Menghadapi realitas sosial budaya madura dewasaini, maka tiada lain yang dapat dan harus dilakukan oleh orang Madura adalah melakukan revitalisasi nilai­nilai budaya Madura. Upaya ini harus terpadu dan melibatkan seluruh komponen masyarakat Madura, terutama kalangan budayawan, seniman dan tokoh masyaralcat yang concern terhadap budaya Madura.

Pada konteks akar rumput, ujung tombak pembudayaan terdapat pada keluarga. Oleh karena itu, proses revitalisasi nilai-nilai budaya Madura harus memberikan penyadaran pada masing-masing keluarga guna menanamkan nilai-nilai budaya Madura. Benar seperti yang dinyatakan oleh N. Drijarkara, 1980:

"Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tri-tunggal Ayah-Ibu - anak, dimana terjadi pemanusiaan anak (pembudayaan anak, pelaksanaan nilai-nilai) dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa memanusia sendiri (membudaya sendiri, melaksanakan nilai-nilai sendiri) sebagai manusia purnawan"

Tanggung jawab perkembangan pribadi anak bukan hanya pada institusi pendidikan an sich, tapi juga lingkungan masyarakat dan "terutama" lingkungan keluarga. Hal ini diperkuat dari teori Konvergensi yang menyatakan bahwa perkembangan anak tidak hanya dipengaruhi oleh "pembawaan", tapi juga oleh lingkungan masyrakat, keluarga dan institusi pendidikan (sekolah).

Sebenarnya titik fokus pendidikan anak bukanlah di lingkungan masyarakat clan sekolah, melainkan ketika anak berada di lingkungan keluarga (pendidikan keluarga). Masyarakat dan sekolah hanya merupakan bagian pelimpahan tanggung jawab dari keluarga. Dengan kata lain, seorang anak yang menapaki sekolah hingga tingkat manapun hampir bisa dipastikan mendapat dukungan yang optimal dari keluarga.

Terkait dengan taraiiformasi nilai dan budaya serta tarlpa bermaksud mengurangi peran lingkungan masyarakat dan sekolah, maka keluarga adalah lingkungan belajar yang paling penting bagi anak. Keluarga merupakan wadah awal dalam setiap perkembangan moral anak. Dalam hat ini orang tua adalah guru pertama dan paling berpengaruh bagi anak. Orang tua yang memupukkan harapan dan perhatian atas pendidikan sang anak terutama pada bimbingan pendididkan agama dan sopan santun. Karena itu, orang tua harus punya arah dan konsisten dalam mendidik anak.

Arah, dalam arti orang tua harus memebimbing anak secara filosofis menuju pada tujuan akhir yang mana? Konsisten artinya kita sebagai orang tua harus ajek menerapkan nilai-nilai yang kita tanamkan pada diri anak dengan cara memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah). Semua maflmm bahwa sebagai masyarakat Madura, kita identik dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, disamping budaya­budaya lokal madura yang hendak kita tanamkan, seyogyanya kita terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai agama secara manusiawi pada diri anak.

Mewacanakan nilai-nilai religius dalam masyarakat lokalmadura, maka menjadi kepastian membahas nilai-nilai keligius Islami. Hal ini berkenaan dengan populasi penduduk yang sekitar 98%beragama Islam. Sebagai contoh yakni populasi penduduk Kabupaten Sumenep berdasarkan agama seperti yang diambil dari situs resmi Pemkab Sumenep ( www.sumenep.go.id):

Berangkat dari data inilah, maka menjadi tak terelakkan untuk menekankan bahwa mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai dan budaya Madura pada hakikatnya mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai Islam.

Pengembangan pendidikan nilai-nilai religius Islam anak merupakan proses restrukturisasi dan pensucian rohani anak. Pendidikan nilai-nilai Islam didasarkan pada dua sumber utama yakni Al-Qur'an daY As-Sunnah. Dalam khazanah pendidikan Islam setidaknya menyebut dua istilah yang mewakili kata pendidikan, yaitu ta'lim tarbiyah dan ta'dib. Istilah ta'lim tarbiyah merupakan proses pemberian bekal pengetahuan dan pembinaan guna pembentukan kepribadian/sikap mental.

Adapun muatan pendidikan nilai-nilai islami mencakup kognitif, afektif dan psikomotorik dengan prinsip-prinsip dasar yang meliputi dimensi keyakinan (ideologis), peribadatan (ritual), pengetahuan (intelektual), penghayatan (eksperiensial) clan dimensi pengalaman (konsekuensial). Kelima prinsip dasar ini saling berkaitan dengan dimensi keyakinan sebagai dasarnya.

Socara garis besar, pola pendidikan Islam menipakan pendidikan yang paling memanuslakan mahusia. Islam adalah agama fltrah. Dalam menanamkan nilai-nilai­pun, Islam menempuh cara-cara yang fitrah (baca= manusiawi).

Sebuah uswah agung dari Rasulullah dapat kita ambil ketika beliau tengah bermain bersama anak-anak:

"Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dari labir r.a, ia bercerita: aku pernah bertamu kepada Rasulullah tengah berjalan merangkak (berjalan dengan kedua tangan dan kedua lututnya). Lantas berkata: Aku Melihat Hasan dan Husein r.a. berada diatas pundak Nabi saw., maka aku berkata: "Sebaik-baik kudaadalah orang yang berada di bawah kalian". Nabi saw. Berkata: "Dan sebaik­baik penunggang kuda adalah mereka berdua".

Perhatikanlah bagaimana Manusia paling agung bermain dengan anak-anak. Beliau tidak menerapkan disiplin orang dewasa bagi anak-anak. Beliau mengerti betul dunia anak adalah dunia bermain. Tidak ada pemaksaan apalagi kekerasan. Dalam bermain, terdapat pembelajaran yang sarat makna dan manusiawi.

Pada dasarnya pendidikan keluarga yang memanusiakan anak memiliki ciri­ciri sebagai berikut:

1. Tanamkan nilai-nilai religius sebagai langkah pertama dengan pendekatan cinta yang penuh pengertian. Nafas religius merupakan "ruh" yang harus selalu ditiupkan oleh orang tua dalam mendidik anaknya secara tulus tanpa paksaan namun konsisten .

2. Menghargai anak sebagai individu yang sejajar di hadapan Allah. Yang berbeda hanya kadar tanggung jawab hukum yang belum dimiliki berkaitan dengan usia yang belum akil balig. Dengan demikian tidak akan ada asumsi bahwa anak merupak "hak milik" yang bisa menjerumuskan pada perilaku kekerasan pada anak. Sebaliknya anak merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan asumsi ini diharapkan anak dapat berkembang kepercayaan dirinya ayng pada akhirnya bisa menumbuhkan jiwa anak yang dinamis dan bertanggung jawab.

3. Pahami bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Bagi anak-anak, bermain bukan merupakan kegiatan yang main-main. Bermain adalah kegiatan yangserius dan penting. Bermain merupakan kegiatan pokok dalam masa kanak­kanak. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin memaparkan: "hendaknya anak kecil diberi kesempatan untuk bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hidup sehingga ia akan sering mencari alas an untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini".

4. Menyadari bahwa tidak ada anak yang nakal. Seorang anak hanya bersifat eksploratif terhadap hal-hal baru yang mereka temui serta anak cenderung imitatif terhadapnya. Pemahaman ini perlu sehingga tidak akan terjadi stigma negatif seperti "anak nakal", "anak mangan" atau "anak meller".

5. Orang tua mengedepankan suri tauladan yang baik untuk menanamkan nilai­nilai yang diingikan pada diri anak secara konsekuen dan berkelanjutan. Sedapat mungkin menghindari instruksi tanpa contoh pada anak. Berikan nasihat berbentuk tindakan, misalnya untuk mencintai budaya madura seperti karapan sapi maka ajaklah anak untuk menonton karapan sapi.

6. Jangan bebani anak dengan hal yang tidak mampu ia raih. Setiap anak lahir dengan potensi yang beragam. Kenali kelebihan dan kekurangan mereka. Jangan paksa anak sesuai dengan keinginan kita yang berlebihan. Misalnya orang tua mengharuskan anaknya mendapat peringkatlranking satu di kelasnya. Hal ini adalah suatu beban yang tidak semua anak bisa meraihnya.

7. Ciptakan kondisi keluarga yang kondusif bagi perkembangan fisik dan mental anak. Berilah mereka makanan yang bergizi sehingga pertumbuhan fisiknya optimal. Beri pula mereka makanan rohani yang memadai seperti menyekolahkan mereka pada sekolah yang baik atau mengajari mereka mengaj i al-Qur' an di madrasah atau di surau.

Dalam kerangka penciptaan kondisi yang kondusif ini pula, sebaiknya hindarkan mereka dari media yang bisa merusak mental mereka seperti tayangan televisi, VCD atupun Majalah yang tidak mendidik. Sedapat mungkin dampingi mereka sewaktu mereka menonton tayangan televisi atau ketika mereka membaca Koran/majalah.

8. Berikan kebebasan kepada anak untuk berkreasi. Biarkan anak memiliki pendapat berbeda senyampang dalam batas-batas kewajaran sebagai anak. Anak akan terdorong kreativitasnya bila ia menerima perlakuan yang wajar. Seorang anak yang sering mendapat cemooh dapat melemahkan kreativitasnya.

9. Hindari kekerasan pada anak baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental. Perlakuan yang tidak menyenangkan bagi anak kadang di terima dari orang yang seharusnya mengasihinya (yakni orang tua). Sebagian orang tua berdalih demi pendidikan anak. Ada pula yang terlanjur memberi predikat "nakal" pada anaknya atau bahkan mereka yang menganggap bahwa anak adalah hak otoritas orang tua sehingga mereka bisa semaunya memperlakukan anak. Kekerasan pada anak tidak akan memperbaiki perilaku anak, justeru akan menenggelamkan anak pada perilaku kekerasan ketika ia dewasa ini.

Yang perlu dicermati, uraian diatas adalah model pendidikan keluarga yang memanusiakan anak (al-ta'lim al-insaniy) ini merupakan variasi dari pendidikan Islam. Dalam khasanah pendidikan Islam terdapat pula model pembelajaran sufistik transendental (at-ta'lim ar-Robbaniy). Sebagai perbandingan, perhatikan pola pembelajaran sufistik transendental yang disarikan dari kitab "Majmu’atu Rasa’ili" Imam Al-Ghazali mengenai etika mengajar anak-anak:

"Mendahulukan keteladanan dirinya, karena anak-anak memperhatikan segala perilakunya, telinga mereka pun setia mendengarkannya. Apa yang menurut d., rinya baik, maka di mata mereka juga dianggap baik. Sebaliknya,apa yang dianggap jelek, mereka pun menganggap jelek. Seorang pengajar harus tetap tenang, memperhatikan sekitar; pengajarannya lebih diprioritaskan melalui kewibawaan; tidak mengajaknya berbicara berlebihan dan yang tidak pada tempatnya, karena bisa menjadikan mereka bertingkah; tidak membiarkan mereka berceloteh yang menjadikannya sembrono di hadapan anda.

Anda jangan mempermainkan siapa pun dihadapan mereka; hati-hati terhadap apa yang mereka buang di hadapan Anda. Melarangnya berdusta; mencegahnya dari sikap curiga yang berlebihan; menilai buruk terhadap kebiasaan menggunjing orang lain; harus meninggalkan kebiasaan berdusta dan adu domba di hadapan mereka; tidak menanyakan hal-hal yang merendahkan harga dirinya yang dapat menekan perasaan mereka. Tidak banyak menuntut kepada mereka, sebab mereka akan bosan mendengarnya. Anda harus mengajarkan cara bersuci dan sholat kepada mereka; clan mengajarkan tentang perkara najis berkenan dengan diri mereka."

Dari paparan ini terlihat bahwa model pembelajaran sufistik transendental menyaratkan perilaku yang amat ketat. Kedua model ini (Pemanusiaan anak dan sufistik transendental) sama-sama memiliki keunggulan masing-masing. Namun dalam konteks penanaman dan pengembangan nilai-nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat Madura, model pendidikan pemanusiaan anak dirasa yang paling sesuai.

Dengan pola pendidikan keluarga yang memanusiakan anak seperti yang diuraikan diatas, diharapkan tumbuh geerasi-generasi yang lebih manusiawi, tangguh dan utuh. Tanggguh dari terpaan realitas sosial yang tidak kondusif, utuh secara insani dari sisi jasmani dan rohani yang mampu mempertahankan nilai-nilai luhur dan budaya Madura secara kreatif namun bijak.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adhim, Mohammad Fauzil. 1997. "Menagajar Anak Anda Mengenal Allah Melalui Membaca" Bandung : Al- ffayan.

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1997. "Majmuatu Rasailil Imam Al-Ghazali atau Kaidah­Kaidah Sufistik: Keluar dari Kemelut Tipu Daya, Tej": Mohammad Lukman Hakiem dan Abu Ahmad Najieh. Suirabaya: Risalah Gusti

Al-Ujayyan, Manshur bin Abdul Aziz. 2001. "Raudhatul Mahbub Min Kalami Muharrikil Qulub Ibnul Qayyim atau Taman Orang Yang Dicintai Mutiara hikmah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, terj". Ahmad Amin Sjihab Jakarta: Darul Haq.

Bali, Wahid Abdus Salam. 2002. " Al-Muttaham Al-Awwal atau Terdakwa Utama Menggugat Televisi, terj". Ahmad Saikhu. Jakarta: Darul Haq. Leonhardt, Mary. 2005. "99 Ways to Get Kids to Love Writin: and 10 Easy Tips for Teaching Them Grammar atau 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis, Terj': Eva Y. Nukman. Bandung: Kaifa.

Purwanto, M. Ngalim. 1996 "Psikologi Pendidikan" Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Syam, M. Noor. 1998. "Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila" Surabaya: Usaha Nasional.. 2001 "Etika Dalam Perspektif Pendidikan" Malang: Lab. Pancasila UNM.

Wiyata, A. Latief. 2002. "Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura" Yogyakarta: LkiS.

http//www.sumenep.go.id diakses pada tangga125 Januari 2005

 

 

 Back To Daftar Isi

WAWANCARA

Muhammad Ridwan, BA

Pendidikan Kita Masih Nanggung....?

 

Sejak beberapa tahun terakhir ini. Dunia pendidikan kita tengah dihadapkan pada persoalan yang sangat kelabu. Selain praktik kurang bermartabat di dalam birokrasi dan sistem pendidikan sendiri, yang jauh memprihatinkan adalah praktik-praktik amoral yang dilakukan oleh peserta didik. Nyaris, dunia pendidikan kita tidak lagi berwajah, kecuali wajah pilu yang memalukan. Hal ini, bukan saja karena pendidikan merupakan tangga penguat kemajuan bangsa, tetapi juga karena pendidikan adalah simbol moralitas bangsa, yang bisa menata bagaimana nilai-nilai bangsa menyatu dalam proses-proses pendidikan. Tidak salah, kalau pada gilirannya muncul asumsi tentang pentingnya pendidikan nilai, sebagai salah satu jawaban tentang wajah muram pendidikan ini. Apa dan bagaiman sebenarnya, wajah pendidikan kita serta bagaimana posisi pendidikan nilai. Berikut hasil perbincangan Mohammad Suhaidi RB , dari Jurnal EDUKASI dengan Muhammad Ridwan, BA ,

salah seorang da'i dan mantan guru agama di Sumenep.

 

Hampir setiap waktu, kita disuguhi oleh problem-problem moral pendidikan setidaknya aksi-aksi tawuran, free seks yang terjadi di kalangan anak didik serta hal-hal amoral lainnya. Akibatnya, pada wilayah ini, banyak orang merasa prihatin dengan kondisi pendidikan yang demikian, ada bahkan yang memberinya alternatif dengan menyebut-nyebut pendidikan nilai. Apa sebenarnya hakikat pendidikan nilai tersebut ?

Pendidikan pada hakikatnya adalah mengantarkan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak mengerti menjadi mengerti. Dari tidak merasakan menjadi merasakan. Dari tidak menghayati menjadi menghayati. Jadi, setiap kegiatan, agar bisa berhasil, harus dilakukan dengan utuh. Oleh karena itu, setiap kegiatan setidaknya harus dilakukan melalui empat tahapan kegiatan. Antara lain, mengetahui, mengenal, merasakan dan menghayati. Apabila empat hal ini tidak dilakukan, ia tidak akan pernah berhasil dengan baik. Pintar tidak akan menjadi suatu jaminan keberhasilan. Sebab, ada orang pintar, tetapi setelah ia pintar, tidak dapat memanfaatkan kepintarannya dengan baik. Bahkan kalau di negara kita banyak orang pintar yang hanya berpekulasi. Sekali lagi, empat hal (nilai mengetahui, mengenal, merasakan, dan menghayati, red.) tersebut merupakan nilai-nilai yang harus menjadi bagian dari setiap aktivitas pendidikan yang dilakukan.

 

Kaitannnya dengan fenomena tawuran, seks bebas dan kerusakan moral peserta didik dalam pendidikan kita?

Dalam hal ini fenomena tawuran yang seringkali terjadi antar pelajar serta persoalan amoral lainnya, saya kira tidak akan pernah terjadi, kalau empat nilai itu (mengetahui, mengenal, merasakan, menghayati) sudah dicapai. Bukti tentang pencapaian nilai-nilai tersebut, ada dalam agama kita, setidaknya apa yang terjadi pada zaman Rasulullah, begitu para sahabat mengenal, mengetahui tentang Islam, merasakan dan menghayati Islam misalnya. Nah, hal-hal ini kalau sudah dicapai, apa yang kita prihatinkan tentang pendidikan kita, tidak akan pernah terjadi.

 

Tetapi, kenyatan buram tentang pendidikan kita tampak tidak pernah hilang ustad, kegiatan-kegiatan amoral acapkali masih terus dilakukan oleh peserta didik. Apa memang ada yang salah dengan pendidikan kita?

Ya, saya kira salahnya, karena tidak sampai pada pokok-pokok yang diinginkan dalam pendidikan. Artinya, pendidikan kita masih pendidikan yang nanggung-nanggung. Makanya, sebentar-sebentar sistem berubah. Itu namanya nanggung. Seolah-olah kita memang tidak punya hakikat tujuan pendidikan dari pendidikan itu sendiri.

 

Dekadensi moral yang terjadi di kalangan pelajar kalau dilihat dari pendidikan nilai, kira-kira bagaimana ?

Ya, yang dikatakan mendidik itu, bukan hanya sekedar mengajar. Tetapi, membimbing siswa. Seperti yang telah disebutkan tadi, dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak kenal menjadi kenal. Dari tidak merasakan, menjadi merasakan. Dari tidak menghayati, menjadi menghayati. Kalau hal itu dapat diterjemahkan, insyaallah tidak akan ada orang yang mau berbuat yang tidak baik. Misalnya, orang yang menghayati api bahwa api itu panas, ia tidak akan mungkin mau membakar dirinya, sekalipun mau dibayar dengan bayaran yang sangat besar. Karena ia bukan hanya sekedar mengenal api itu, tetapi uga telah menghayati. Akan tetapi, bagi anak kecil yang masih belum mampu menghayati, ia lebih senang bermain-main dengan api. Disinilah, makna penting pendidikan nilai itu ditekankan.

 

Tadi ustadz juga menyinggung-nyinggung tentang posisi sistem pendidikan. Apakah tidak berarti bahwa aksi-aksi amoral di kalangan peserta didik, bukan karena sistem pendidikan kita yang ada?

Bisa juga begitu, karena sistem apapun saja, merupakan cara. Sistem adalah cara. Bagaimana caranya memacu untuk mempercepat sampai pada satu tujuan. Semunya kembali pada sistem. Misalnya, seorang anak yang masih belum bisa naik sepeda, kemudian diberi sepeda motor, itu tidak mungkin, bahkan akan menjadi sangat fatal. Oleh karena itu, maka perlu adanya pengajaran pada anak tentang keseimbangan. Yaitu, kita bisa kembali pada empat nilai tadi, mengetahui, mengenal, merasakan dan menghayati. Saya kira demikian, cara atau sistem yang harus dilakukan, sehingga pendidikan kita akan senantiasa baik dan tidak memprihatinkan.

 

Terkait dengan kurikulum yang tidak pernah istiqomah dan berubah setiap waktu. Apa juga menjadi faktor dan penyebab dekadensi moral peserta didik?

Bisa jadi demikian adanya. Karena muatan yang terlalu padat dalam kurikulum yang ada. Perlu disadari bahwa yang sangat berperan di dalam manusia sesungguhnya hanya ada dua hal. Yaitu pola berfikir dan alat komunikasi. Pola berfikir adalah cepat dalam mengambil keputusan dan alat komunikasi adalah bahasa. Oleh sebab itu, dua pelajaran ini harus mendapatkan waktu yang lebih sempurna. Hal-hal semacam ini yang saya kira harus dipahami. Sebab, di negara kita, misalnya tentang pelajaran sejarah saja, selama ini tidak mengena dan terlalu konsen pada pengarang.

 

Bisa dijelaskan lebih rinci?

Soal pelajaran sejarah. Sebenarnya yang harus diceritakan tentang sejarah kita tidak terlalu banyak. Kalau misalnya menjelaskan tentang nasional, ia berarti berbicara tentang perjuangan. Artinya memnyemangati (bagaimana siswa bisa memiliki rasa, red) nasionalisme. Akibat pola pelajaran sejarah yang demikian, ternyata sejarah kita tidak pernah berhasil. Buktinya nasionalisme rakyat kita tidak ada. Yang ada hanya kritis. Pemerintah salah sedikit saja, langsung dilawan dengan demontrasi. Kritis yang sama sekali tidak didukung oleh moral yang tinggi. Jadi, potensi nasionalisme yang seharusnya menjadi target kunci dari pelajaran sejarah kita, tidak bisa ditanamkan dengan sempurna karena kita terpaku pada pengarang.

 

Kembali lagi pada pendidikan nilai-nilai agama atau moral. Dalam konteks era ini, dimana globalisasi menjadi sesuatu yang niscaya, kira-kira bagaimana dengan posisi nilai-nilai moral tersebut? Apakah tidak akan bertabrakan ?

Saya kira tidak. Kalau nilai-nilai moral yang telah saya sebut, yang terus dikembangkan. Tidak seperti muatan lokal yang ada saat ini, yang keberhasilannya antara 50%.

 

Sepertinya ustadz sangat apatis dengan muatan lokal tersebut, kalau hanya 50% itu terlalu sederhana. Mengapa bisa demikian?

Karena cenderung hanya menyediakan alat. Tidak diberi motivasi yang seharusnya diberikan sebelum alat itu ada. Dengan motivasi maka akan timbul semangat. Salah satu contohnya, mengapa anak-anak muda kita saat ini tidak suka bekerja keras? Tidak seperti yang dimiliki oleh orang-orang dulu, yang kadang-kadang tidak berpendidikan, tetapi memiliki semangat kerja yang tinggi, sehingga –misalnya- mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Tetapi yang aneh, anak yang sudah ada di perguruan tinggi, tidak memiliki semangat seperti yang dimiliki oleh orang tua mereka. Jadi, saya kira ada yang salah.

 

Salahnya terletak dimana?

Salahnya karena di dalam perguruan tinggi, terutama dalam setiap materi yang disampaikan, sangat jarang diselip-selipkan tentang tujuan dan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar. Misalnya, pelajaran ekonomi, seharusnya ia bukan hanya sekedar diajarkan tentang bagaimana bisa menghitung, tetapi yang sangat mendasar adalah bagaimana ia dapat menjadi penyemangat untuk bekerja. Artinya, semua pelajaran dapat menjadi penyemangat.

 

Ustadz, tadi juga menyebut tentang makna penting kurikulum. Apakah problem pendidikan yang ada selama ini, karena faktor kurikulum?

Ya, kurikulm kita masih belum baik dan tidak ngepas.

 

Kemudian, di tengah era krisis multidimensi saat ini, nilai-nilai apa yang harus dikembangkan?

Nilai-nilai moral itu, saya kira tetap yang harus dikembangkan. Sebab, kalau nilai-nilai terus dikembangkan dengan baik, walaupun harus hidup di tengah era globalisasi, tidak akan terjadi apa-apa. Tentunya juga, harus di topang dengan sistem yang pas.

 

Terakhir, pesan-pesan ustadz sendiri, berkenaan dengan omplimentasi pendidikan nilai?

Pesan saya sederhana saja. Pertama, pelajaran agama di sekolah, seperti akhlak dan tauhid harus disediakan waktu yang lebih banyak. Kedua, pelajaran syariatnya, harus lebih ditekankan pada praktek.

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL LEPAS

PENDIDIKAN HUMANIORA

Sebuah Model Pendidikan Sejati

Oleh Mudda’i*

 

Children Learns What They Lives:

If a child lives with criticism, he learns to condemn. If a child lives with hostility, he learns to fight. If a child lives with ridicule, he learns to be shy. If a child lives with shame, he learns to feel guilty. If a child lives with tolerance, he learns to be patient. If a child lives with encouragement, he learns to be confident. If a child lives with praise, he learns to appreciate. If a child lives with fairness, he learns to justice. If a child lives with security, he learns to have faith. If a child lives with approval, he learns to like himself. If a child lives with acceptance and friendship, he learns to find love in the world

(Dorothy Law Nolte).

Dehumanisasi : Wajah Pendidikan Kita

1. Kekerasan Personal dalam Pendidikan

Pendidikan terjadi di sekitar saya. Ceritanya cukup beraneka ragam. Lengkapnya seperti ini:

Seorang guru menjelaskan mata ajarannya di ruang kelas, ketika itu aku duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar (Negeri). Di sampinngku duduk seorang teman. Dia tampak cukup berbeda dengan aku. Dia agak sedikit abai mengikuti penjelasan guru itu. Sikapnya yang nakal terbaca oleh pandangan mata guru itu. Tak lama kemudian, tangan sang guru itu memanjang, menyampaikan satu jenis pukulan—dengan benda kecil yang dipegangnya—kepada tubuh temanku itu. Aku merinding melihatnya. Batinku bertanya-tanya, “bagaimana kalau saja pukulan itu diberikan kepadaku? Sakit, bukan?”

Beberapa tahun kemudian aku duduk di bangku yang lebih tinggi, Sekolah Menengah Pertama (Swasta). Pada paroh tahun pertama 1991 aku punya cerita lain. Aku dan teman-temanku yang memiliki satu nasib mengikuti mata ajaran dengan cara berdiri, satu jam pelajaran penuh. Ini katanya “sebuah hukuman, pahala pendidikan, bagi orang-orang seperti aku yang rendah retensinya.” Aku dan beberapa temanku tak mampu menghafal mata ajaran yang ditugaskan guru itu secara sempurna. Aku hanya dapat menyempurnakan diri menurut kapasitasku. “Sialan, masih saja ada model guru semacam itu di sekolah ini. Tak kreatif mencipta punishment pendidikan yang sedikit mencerdaskan,” keluh teman -tamanku.

Enam tahun kemudian, di Sekolah Menengah Atas (Swasta), nasib jelek menimpa ijazahku dan teman-teman sekelasku. Surat Tanda Tamat Belajar itu kena cekal rekayasa kepala sekolah. Satu tahun terpenjara di tangan kepala sekolah. Orang-orang sebelum dan sesudahku merasakan hal yang sama. Di sekolah itu tampaknya ada semacam ritual pembaikotan ijazah saban tahun. Seorang temanku yang ijazahnya telah habis masa penjaranya, mengambilnya dengan kekuatan tangan besi tajam (pisau); semacam ada rasa takut masa penjara ijazahnya di perpanjang.

Meskipun sempat terputus, birahi intelektualku masih saja membujukku untuk wander off ke negeri entah berantah. “Sebuah negeri para pembelajar,” begitu orang-orang menyebutnya. Di sana ada Lembaga Pendidikan Tinggi Negeri. Aku coba mengeram di situ selama sekian tahun. Sebelum memasukinya aku membayangkan Lembaga Tinggi, sesuai dengan namanya, pasti orangnya tinggi-tinggi, sensibilitasnya tinggi-tinggi, sikapnya tinggi-tinggi, pengetahuannya tinggi-tinggi. “Ah, tidak!” kataku. Naluriku mencegah, “jangan terburu-buru berburuk sangka, sebelum ada bukti!” Tak lama kemudian dugaanku tak banyak meleset. Lembaga Tinggi itu gempar karena kedatangan tamu baru tanpa diundang. Tamu itu adalah ini : pipi temanku, Kekasih Allah, yang satu ini memerah kena sentuhan nakal tangan dosennya yang naik darah. Dia sungguh-sungguh menjadi korban kekerasan pendidikan pada putaran sejarah kali ini.”

Di luar sana, dalam lika-liku kehidupan sehari-hari ada nada-nada yang sama. Semacam nyanyian tanah air. Anak-anak negeri melagukan lagu gelombang. Nadanya tinggi, bunyinya nyaring. Itulah jeritan tangis anak-anak di kampung negeriku melengkapi pernak pernik kehidupan. Mereka menangis tanpa kemauannya sendiri. Air matanya meleleh membasahi pipinya yang masih halus itu. Mereka kekurangan kasih sayang. Orangtuanya mendidiknya salah arah. Hasutan, jeweran atau pukulan orangtua kerapkali menimpanya. Kenakalan seringkali jadi alasannya. Kekerasan acapkali jadi obat penawarnya.33

Demikianlah cerita cultural bernama pendidikan yang melekat dalam pengalaman riil anak manusia. Suatu stigma kebudayaan yang mendisrupsi pikiran dan perasaan saya selama beberapa tahun terakhir ini. Kisah-kisah itu tampaknya kurang lengkap kalau tragedi kemanusiaan yang pernah muncul dalam catatan sejarah pendidikan negeri ini harus dilewatkan di sini. Melalui artikelnya yang berjudul “Pendidikan Tanpa Kekerasan” teman saya, Nurul Huda SA, menuturkan begini :

Pada hari jum’at, 3 Maret 2003, berbagai media cetak memuat berita pemukulan oleh seorang guru SMU BK (Bhineka Karya) 5 Boyolali Jawa Tengah terhadap siswanya yang terlambat masuk sekolah. Sang murid babak belur, harus dioperasi dan diopname di rumah sakit selama tiga hari ….

Dalam catatan saya, sudah ada beberapa kasus kekerasan fisik yang dilakukan guru (dosen) terhadap siswanya dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang terekspose media. Di antaranya di SMK PGRI 3 Surabaya, seorang guru menghukum muridnya lari keliling halaman seluas 10 x 20 meter sebanyak 10 kali. Sang siswa akhirnya meninggal dunia. Di SD Lubuk Gaung, Bengkalis Riau, seorang guru dan kepala sekolah, menghukum muridnya lari keliling lapangan sambil telanjang dan masih harus memakan rumput. Di SD Panjunan 02 Kota Pati Jawa Tengah, seorang guru menghukum muridnya dengan sundutan besi (paku) panas pada tangan kanannya. Dan, mungkin termasuk paling langka, di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, September 1997, seorang dosen yang tidak dapat menahan emosinya waktu mengajar, memukul muka mahasiswanya. Setelah ditekan lewat demonstrasi besar-besaran, sang dosen dipecat.34

Sungguh hati saya tersayat ketika membaca, mendengar, dan melihat tragedi-tragedi budaya-pendidikan seperti di atas. Betapa tidak! Pendidikan yang semestinya membebaskan, malah menindas. Pendidikan yang seharusnya membahagiakan, malah menderitakan sebagian anak didik yang katanya bakal menjadi pemimpin di masa depan. Inilah rupanya wajah pendidikan anak negeri ini : “Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata.”35

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa air mata adalah buah dari perasaan yang secara psikologis menandakan suatu desolasi yang sangat mendalam yang dialami oleh seseorang. Menetesnya air mata dari kelopak mata pemiliknya mungkin karena sudah terlampau berat penderitaan yang harus ditanggung. Setiap orang dapat mengalami keadaan semacam itu, tentu saja menurut kondisi dan kausalitasnya masing-masing. Peristiwa sejarah dunia pendidikan di atas mengilustrasikan suatu desolasi sosial yang menimpa anak didik ketika berada di dalam lingkungan pendidikan : di keluarga, di sekolah,36 atau pun di kalangan masyarakat luas. Anak didik sayu menghadapi realitas pendidikan yang tampil dengan cara-cara kekerasan, baik langsung maupun tidak. Kasus-kasus di atas merupakan bagian dari wujud nyata kekerasan dunia pendidikan yang terjadi secara langsung atau personal.

 2. Kekerasan Struktural dalam Pendidikan

Sedangkan bentuk kekerasan pendidikan yang beroperasi secara tidak langsung atau terpola secara struktural menjelma dalam berbagai hal. Pertama, masih kuatnya sistem sentralisasi pendidikan yang sarat kuasa, di mana secara struktural kebijakan dan mekanisme pendidikan seringkali bergerak dari sentra-sentra kekuasaan menyebar ke fragmen-fragmen lokal kekuasaan. Yaitu, bergerak dari pemerintah pusat ke kepala daerah, dari kepala daerah ke kepala sekolah, dari kepala sekolah ke guru kelas, dan dari guru kelas ke murid. Dengan kata lain, pendidikan itu cenderung beroperasi dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas, atau lebih tepatnya dari dalam (individu lokal) ke luar (masyarakat nasional atau transnasional)

Dalam konteks ini pendidikan lebih dipahami sebagai translasi otoritas kekuasaan yang berlapis-lapis itu daripada penjaringan makna-makna atau aspirasi-aspirasi yang tumbuh dari komunitas grass-roots. Pendidikan lebih dipandang sebagai transmisi kuasa-pengetahuan daripada inquiri dan diskoveri. Akibatnya, operasionalisasi pendidikan di lapangan cenderung bersifat instruksional daripada motivasional. Tendensi ini pada saat yang sama memungkinkan tumbuh-suburnya hegemoni dan dominasi kekuasaan pada titik-titik hierarkis kekuasaan pendidikan itu sendiri. Di ruang kelas misalnya muncul sikap kultural pada diri guru atau dosen yang, disadari atau tidak, acapkali memosisikan diri sebagai penguasa tunggal ilmu pengetahuan : merasa (paling) tahu dan benar diri (self-knowingorrigtheousness).

Sementara itu, murid menjadi pihak yang berkepentingan dengan ilmu pengetahuan yang—taken for granted—harus diperoleh secara submisif dan afirmatif. Pengetahuan diandaikan bersumber pada subjek tertentu daripada hasil hubungan timbal-balik antara guru dan murid yang meleburkan diri dalam suatu permainan strategi kuasa-pengetahuan. Hal ini didukung oleh adanya anggapan “subjek” dan “objek” dalam pendidikan yang menempatkan guru sebagai subjek dan murid sebagai objek pendidikan. Implikasi praktisnya adalah guru seringkali menjadi subjek yang aktif dan murid menjadi objek yang pasif. Masdjudi meyakini bahwa :

Sampai sekarang, walaupun banyak guru yang mengakui bukan jamannya teori tabularasa yang menganggap anak bukan kain putih atau botol kosong yang harus diisi, tetapi kenyataannya dalam kegiatan sehari-hari guru lebih banyak telling daripada teaching. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Beeby (1976) dan berbagai penelitian oleh kalangan peneliti di parguruan tinggi. Guru merasa belum mengajar jika tidak memberi tahu (merasa sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan) kepada siswanya. Akhirnya, dalam kegiatan belajar mengajar guru lebih banyak menjejali segala macam informasi supaya dianggap tahu segala macam hal.37

Kedua, kurikulum padat, yang terjadi pada semua jenjang pendidikan. Hal ini muncul, di satu pihak, karena memang kurikulum dibikin padat oleh pengelola pendidikan itu sendiri. Kurikulum didesain sedemikian rupa, sekolah ditumpuki segala macam materi, tak ubahnya “toserba” yang menyediakan segala macam barang, sehingga terkesan besar dan berkualitas. Di lain pihak, pada mulanya kurikulum tidak padat, tapi karena ada pemekaran atau pembengkakan materi tertentu yang terkadang tumpang tindih, maka terjadilah kurikulum yang padat (baca: Madrasah). Semakin padat kurikulum suatu sekolah, maka semakin besar atau berat beban belajar yang diemban oleh anak didik. Bahkan boleh jadi kurikulum yang overload pada akhirnya menjadi useless, karena message yang dikandungnya tak tertangkap sama sekali oleh daya pencerapan anak didik yang relatif terbatas. Dengan kata lain, kurikulum padat memici anak didik mengalami floating-mass dalam memburu pengetahuan.

Belakangan kurikulum padat banyak diresahkan masyarakat. Para orangtua yang kebetulan anaknya belajar di sekolah yang dianggap favorit dan berkualitas seringkali mengeluh, karena banyaknya tugas (PR) yang harus diselesaikan anak-anaknya di rumah. Seluruh waktu anak-anak nyaris dihabiskan hanya untuk belajar dan belajar. Kesempatan bermain atau bersosialisasi dengan teman-taman sejawat dan masyarakat sekitar, atau menikmati masa kanak-kanak dan remajanya kerapkali terampas oleh tugas-tugas yang dibawa pulang dari sekolah.38 (Bahkan menurut kabar dari seorang teman penulis, mahasiswa S-2 UGM, beberapa kawannya terpaksa masuk ke rumah sakit akibat kelelahan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya).

Sementara itu, di sekolah anak-anak tak jarang menerima bahan ajaran secara “maraton” yang dikondisikan terutama oleh guru yang merasa terdesak oleh suatu pengejaran target. Guru merasa gagal menularkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya bila ia tak mampu menyelesaikan bahan ajaran sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan. Sementara alokasi waktu untuk setiap satuan pelajaran terkadang tidak sebanding dengan luasnya materi yang harus diuraikan. Jatah waktu untuk masing-masing pelajaran akan semakin kecil atau sedikit bila kurikulum semakin padat. Dengan demikian padatnya kurikulum suatu sekolah yang tanpa diikuti dengan keterampilan dan profesionalisme guru dalam mengorganisasikan mata ajaran di kelas, maka kemungkinan besar risiko yang harus ditanggung oleh sekolah itu adalah hilangnya kualitas out put pendidikan itu sendiri. Sebab, in the fact, kurikulum yang padat selain mempersempit atau menghilangkan chance anak didik untuk mempertanyakan dan mendialogkan kembali ilmu pengetahuan yang diperoleh, juga memungkinkan bahan-bahan ajaran dikaji secara superfisial; tidak menyentuh pada detail. Padahal “mengabaikan detail adalah melakukan kekerasan terhadap kerja, dan penghancuran terhadap kesempurnaan.”39

Ketiga, penyeragaman. Dalam pengamatan Rachmat Pambudy penyeragaman ini tidak hanya terjadi pada buku atau mata ajaran saja, tetapi juga pada seragam sekolah dan bahkan jenis sepatu yang ditentukan dari pusat ( Jakarta). Kurikulum nasional (Kurnas) pun dibuat di Jakarta yang terkadang menafikan kelebihan nilai-nilai budaya lokal yang sebetulnya lebih diperlukan oleh murid-murid di daerah. Bahkan pada masa Orde Baru, sekadar untuk meretrospeksi sejarah, orang yang mau berbuat baik pun harus diseragamkan melalui berbagai bentuk penataran yang diselenggarakan secara nasional.40 Jelas bahwa penyeragaman dalam bentuk apa pun biasanya cenderung menegasi disparitas (persepsi, budaya dan lain-lain) yang pada akhirnya melumpuhkan kekuatan inisiatif dan kereativitas seseorang.

Keempat, sistem evaluasi pendidikan. Sampai sekarang sistem evaluasi pendidikan di negeri ini dikuasai terutama oleh sistem penilaian yang berorientasi pada objektivitas. Salah satu bentuk konkretnya adalah sistem ujian dengan pilihan ganda. Setiap sistem evaluasi atau ujian memang mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Keunggulan dari sistem ujian pilihan ganda adalah selain bersifat objektif ia juga mudah dilakukan, terutama dalam cara pengoreksiannya. Namun, kelemahannya adalah justru merestriksi daya nalar dan kreativitas anak didik. Ignas Kleden menyatakan bahwa “Sistem ujian dengan pilihan ganda adalah kekerasan telanjang kepada daya-pikir dan hanya sanggup membuat menusia menjadi komputer yang menyimpan banyak data tetapi tidak dapat berpikir, atau menjadi robot yang hanya sanggup mengulangi apa yang tak pernah dipahaminya sendiri.”41

3. Dampak Kekerasan Pendidikan terhadap Kepribadian Anak Didik

Dipandang dari sudut apa dan bagaimana pun, kekerasan tetap kekerasan, dan mempraktekkannya di dalam pendidikan, langsung maupun tidak, sungguh-sungguh tidak memiliki nilai edukatif, karenanya sangat tidak dibenarkan, apalagi dilihat dari segi pendidikan itu sendiri. Sebab, melibatkan kekerasan dalam pendidikan dapat merusak jiwa dan kepribadian anak didik. Ibnu khaldun menegaskan bahwa,

hukum yang keras dalam pengajaran berbahaya pada si murid, khususnya bagi anak-anak kecil. Karena itu termasuk tindakan yang dapat menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk. Kekasaran dan kekerasan dalam pengajaran, baik terhadap pelajar maupun hamba sahaya atau pelayan, dapat mengakibatkan bahwa kekerasan itu sendiri akan menguasai jiwa dan mencegah perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Kekerasan membuka jalan ke arah kemalasan dan keserongan, penipuan serta kelicikan. Berupa tindak tanduk dan ucapannya berbeda dengan yang ada dalam pikiran, karena takut mendapatkan perlakuan tirani bila mereka mengucapkan yang sebenarnya. Maka, dengan cara itu mereka diajari licik dan menipu. Kecenderungan-kecenderungan ini kemudian menjadi kebiasaan dan watak yang berurat akar di dalam jiwa. Ini pada gilirannya merusak sifat kemanusiaan yang seyogyanya dipupuk melalui hubungan sosial dalam pergaulan dan juga merusak sikap perwira, seperti sikap mempertahankan diri dan rumah tangga. Orang-orang semacam itu akan menjadi beban orang lain sebagai tempat berlindung. Jiwanya menjadi malas, dan enggan memupuk sifat keutamaan dan keluhuran moral. Mereka merasa dirinya kecil, dan tidak mau berusaha menjadi manusia yang sempurna, lalu jatuh ke dalam ‘golongan paling rendah.’42

Maka, tak heran bila erupsi-despotisme-sosial (seperti tawuran antarpelajar atau mahasiswa, bentrokan antarkampung, pertikaian antaretnis, perampokan, perkosaan dan sebangsanya) kian marak di tanah air dan bahkan menjadi mainan mutakhir anak negeri ini, karena memang sejak dini anak-anak sudah “diajari” violence di dalam lingkungan pendidikan. Pendidikan yang dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk membantu manusia (anak didik) mengembangkan diri menjadi lebih manusiawi, malah justru berbelok ke arah sebaliknya. Praksis-budaya-pendidikan cederung melakukan dehumanisasi. Di sini pendidikan nyaris kehilangan makna sejatinya, yaitu sebagai proses humanizing of human being—yang kini lebih dikenal dengan pendidikan humaniora atau pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Pemanusiaan manusia itu, menurut Driyarkara, merupakan intisari dari segala tindakan mendidik,43 yang seharusnya dibudayakan dalam pembangunan manusia seutuhnya, sehingga tumbuhlah insan-insan yang beradab dan bermartabat. Itulah konsep dan makna sejati pendidikan.

Humanisasi : Pembangunan Manusia Seutuhnya

1. Revitalisasi Tradisi Kuno

Apabila konsep sejati pendidikan humaniora itu ditelusuri sampai pada konsep pendidikan yang paling tua, maka rumusan teoretisnya dapat ditemukan dalam tradisi pendidikan Yunani, yaitu paideia atau dalam tradisi Romawi yang dikenal dengan humanitas yang equivalen dengan paideia. Secara harfiah paideia berarti “pelatihan” atau “pendidikan.” Secara konseptual paideia bermakna sebagai “pendidikan umum yang dibutuhkan untuk mengembangkan pribadi (manusia) yang harmonis dan seimbang.”44 Makna yang dapat ditangkap dari pengertian ini adalah bahwa (1) pendidikan itu pada dasarnya berlaku secara umum, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa, bagi pemimpin maupun rakyat biasa, laki-laki maupun perempuan; (2) pendidikan adalah upaya pembangunan atau pengembangan manusia, yaitu pengembangan potensi-potensinya yang terpendam; (3) potensi manusia yang diharapkan dapat berkembang adalah potensinya untuk menjadi manusiawi. Ini dapat tercapai bila potensi-potensi yang ada dalam diri manusia itu berkembang secara harmonis dan seimbang.

Setiap orang barangkali mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang potensi atau kemampuan manusia—yang hal ini tentu saja sangat dipengaruhi terutama oleh sudut pandang yang dipergunakan. Tetapi, menurut Maslow, “kebanyakan orang memiliki kemampuan untuk bersikap kreatif, spontan, penuh perhatian pada orang lain, penuh rasa ingin tahu, kemampuan untuk berkembang secara terus-menerus, kemampuan mencintai dan dicintai serta ciri lain yang terdapat pada orang-orang yang mengaktualisasikan diri.”45

Kemampuan lain yang terdapat pada manusia adalah kemampuan atau lebih tepatnya kecakapan retoris yang berfungsi sebagai penyelaras dan penyeimbang potensi-potensi lainnya.46 Kecakapan retoris bersangkut-paut dengan bahasa yang di dalamnya terjelma suatu kebudayaan, suatu gagasan, atau pola pikir manusia yang menyejarah. Manusia berpikir, berbicara, menulis, memahami dan melakukan interpretasi melalui bahasa.47 Manusia mengembangkan diri dalam dan dengan bahasa. Sejak baru lahir pun manusia bersentuhan langsung dengan bahasa. Orangtua mengajari anak-anaknya berbicara dengan bahasa sejak dalam ayunan. Memang, pada awalnya anak-anak tidak dapat berbicara tetapi karena ia mempunyai potensi untuk berbicara, dan potensi itu mendapat rangsangan yang cukup dari orangtua atau lingkungannya, maka ia sedikit demi sedikit berkembang menjadi manusia yang dapat berbicara. Mula-mula anak-anak hanya mampu menggerakkan bibirnya, kemudian muncul suara atau kata-kata yang tidak teratur. Lama-kelamaan anak-anak dapat mengucapkan kata-kata secara teratur, fasih, dan cakap hingga pada akhirnya mampu mencapai kecakapan retoris. Di sini bahasa selain berfungsi sebagai gizmo komunikasi ia juga berfungsi sebagai instrumen pengembangan potensi manusia. Dengan demikian bahasa menjadi instrumen fundamental dalam soal pembangunan kebudayaan manusia dan kemanusiaan : language as essence of humanity.48

Dalam kebudayaan Yunani dan juga Romawi pendidikan mengandung arti sebagai pembangunan manusia menurut suatu cita-cita. Cita-cita itu tak lain adalah membantu manusia mengembangkan potensi-potensinya, terutama potensi-kecakapan retorisnya yang bertujuan untuk melahirkan orator-statesman (negarawan yang cakap bicara),49 yang pada waktu itu sangat diperlukan untuk membangun nation-state yang demokratis dan berkeperimanusiaan. Di sini orator (-statesman) dipahami sebagai seorang negarawan yang dengan kemampuan bicaranya yang persuasif dapat mengikat orang-orang untuk menjalankan kehidupan sosialnya secara bersama. Cita-cita ini tumbuh dan berkembang tak luput dari kondisi sosial-politik yang menyertai kedua negara itu.

Di Yunani baku hantam antar suku-suku bangsa (Achaea, Aeolia, Ionia dan Doria) kerapkali terjadi kala itu. J H Rapar melukiskan begini : “Dalam sejarah Yunani purba, suku-suku bangsa itu terpecah dan terpisah satu sama lainnya. Bahkan sering saling menyerang dan saling membinasakan. Namun apabila ada ancaman yang berasal dari bangsa lain, mereka segera bersatu untuk menghadapi ancaman tersebut.”50 Sedangkan di Romawi terjadi persengketaan antar kelas. Anthony Giddens menandaskan bahwa “Sengketa kelas di masyarakat Romawi berkisar sekitar suatu perjuangan antara para ningrat dan rakyat jelata. Kaum ningrat tanpa malu-malu menghisap rakyat jelata, terutama dengan cara menjalankan (praktek) riba, yang mencapai puncaknya di Roma walaupun praktek ini tidak pernah menjadi bagian dari suatu proses pengumpulan modal.”51

Dalam sirkumstansi sosial–politik seperti itu negara, melalui orator-statesman-nya, berkewajiban untuk mendidik rakyatnya menuju situasi nation-state yang harmonis dan seimbang. Harmonis dalam menjalin hubungan-hubungan sosial antarsesama warganegara dan seimbang dalam membangun struktur dan pranata sosial-politik yang demokratis dan berkeadilan. Hal ini dapat dimulai melalui pendidikan orator-statesman. Dan pendidikan orator-statesman menjadi humanistik bukan dalam arti sebagai suatu bentuk pendidikan yang cocok untuk semua orang, tetapi lebih dalam arti sebagai bentuk pendidikan dan kebudayaan yang paling berharga bagi orang-orang yang menempati posisi-posisi kepemimpinan dalam urusan kemanusiaan, khususnya dalam masalah politik.52

Bagi orang Yunani (dan mungkin juga orang kebanyakan) menjalankan tugas pendidikan merupakan tugas yang sangat berat dan sulit. Berat karena pendidikan tidak hanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu (temporal), tetapi (harus) terjadi sepanjang masa (kontinus). Dengan lain kata, semacam long life education (pendidikan seumur hidup). Yang memegang peranan dalam long life education adalah self-education.53 Ini menunjukkan bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki bakat untuk mendidik dirinya sendiri, terutama ketika telah mencapai puncak self-actualization, yaitu kesanggupan seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan bakat, kapasitas-kapasitas dan potensi-potensinya secara penuh.54 Namun, karena tidak setiap individu mampu mengaktualisasikan potensi-potensinya, maka diperlukan prosedur pendidikan yang lebih sistematis dan teratur yang terkadang perlu melibatkan orang lain. Orang lain itu dapat berarti lingkungan sosial yang biasanya mencakup keluarga, masyarakat dan bahkan negara.

Pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang sulit (dilaksanakan) karena pendidikan itu senantiasa bersangkut-paut dengan manusia. Sementara manusia dalam kenyataannya tampil dengan wajah yang unik dan aneh yang dapat digambarkan seperti ini: manusia itu dalam dirinya sendiri bisa me-manusia sekaligus juga tidak me-manusia. Manusia itu dapat menjadi dirinya sendiri, pun juga dapat berhenti menjadi dirinya sendiri. Berbeda dengan binatang lainnya, kerbau atau singa misalnya, yang hanya ditakdirkan untuk menjadi dirinya sendiri; menjadi kerbau atau singa—mengerbau atau menyinga. Dengan ungkapan lain, memakai istilah Jos é Ortega Y Gesset: “… the tiger cannot cease being a tiger, cannot be detigered, man live in the perpetual risk of being dehumanized…man is nothing less than ceasing to be man.”55 Dapat diduga bahwa pada saat manusia itu menjadi dirinya sendiri, maka pada saat itu pula ia bisa menjadi manusiawi. Sebaliknya, ketika ia berhenti menjadi manusia, ketika itu juga ia dapat berhenti menjadi manusiawi.

Manusia menjadi manusiawi karena ia me-manusia. Manusia me-manusia hanya di dalam negara, karena di luar negara menjadi tempat eksistensi makhluk lain yang membawahi manusia (subhuman) atau yang mengatasi manusia (suprahuman) yang tak lain adalah hewan dan dewa atau Tuhan. Itulah barangkali maksud Aristoteles yang menyebut manusia sebagai politikonzoon, yang berarti : makhluk yang hidup dalam polis (negara kota).56

Dengan ungkapan yang berbeda, manusia ada atau lebih tepatnya meng-ada bersama, mendidik bersama, membudaya bersama, atau me-manusia bersama di dalam negara. Di sini negara menjadi semacam milieu eksistensial manusia. Negara ada dan d idirikan hanya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. Maka, menurut Aristoteles, negara ideal adalah negara yang memanusiakan manusia yang dalam prakteknya negara tidak hanya sekadar melindungi setiap warganya dari berbagai ancaman, tetapi juga bagaimana setiap warganegara itu dapat meraih kesejahteraan hidup baik material, spiritual maupun intelektual. Kesejahteraan itu harus bersangkut-paut dengan manusia seutuhnya.57

2. Manusia Utuh = Manusia Subjek

Paulo Freire menyatakan bahwa manusia utuh adalah manusia sebagai subjek.58 Manusia subjek adalah manusia yang memiliki dirinya sendiri dalam arti bahwa secara kodrati manusia berhak untuk mengatur, membangun dan megarahkan destininya sendiri. Secara de jure destini manusia memang sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan, tetapi secara de facto ia memerlukan intervensi bahkan interferensi manusia. Karena destini yang ada secara potensial itu tidak secara an sich menjadi aktual tanpa ada upaya nyata dari manusia itu sendiri untuk mengaktualisasikannya. Kalau destini potensial itu dalam dirinya sendiri pasti dapat menjadi aktual, lalu apa makna Tuhan memberikan potensi kapada manusia? Bukankah potensi itu pada dasarnya adalah untuk ditumbuhkembangkan melalui cultural struggle manusia secara terus-menerus, baik secara individual maupun sosial? Cultural struggle itu tidak lain adalah bernama pendidikan.

Terkait dengan pendidikan (humaniora), manusia subjek berarti manusia sebagai pelaku utama pendidikan yang senantiasa aktif melakukan edukasi yang diarahkan kepada orang lain sekaligus diri sendiri demi mekarnya potensi-potensi itu. Dalam pengertian ini tindakan mendidik mengandung makna sosialitas sekaligus individualitas. Makna yang pertama mengandaikan keterlibatan diri sendiri (the self) untuk mendidik orang lain (the other). Makna yang kedua meniscayakan partisipasi orang lain (the other) untuk mendidik diri sendiri (the self). Ini menggambarkan bahwa pendidikan itu berlangsung dalam suatu relasi antarmanusia yang—dapat disebut sebagai relasi kultural—melakukan komunikasi intersubjektivitas. Muatan yang terkandung dalam komunikasi itu adalah realitas yang mencakup segala yang ada termasuk ilmu pengetahuan, ide, atau persoalan-persoalan masyarakat pada umumnya.

Relasi cultural antarmanusia itu, dalam perspektif pendidikan humaniora, tidak terjadi secara vertikal (atas-bawah), malainkan horizontal (menyamping). Relasi vertikal berbentuk subjek-objek sedangkan relasi horizontal berwujud subjek-subjek.59 Namun demikian pendidikan humaniora tidak secara serta merta menigasikan bentuk relasi subjek-objek yang sebetulnya sangat diperlukan terutama dalam hubungannya dengan realitas yang menjadi objek komunikasi pendidikan. Differensiasi kedua fomula relasi ini harus dipahamai secara saksama oleh setiap individu pendidikan, sehingga aktivitas pendidikan benar-benar mencerminkan sebagai aksi kebudayaan yang selalu berurusan dengan dunia ke-manusia-an. Kalau relasi subjek-subjek itu menyangkut hubungan individu dengan individu, maka relasi subjek-objek adalah mengenai hubungan individu dengan yang bukan individu (realitas). Jika relasi subjek-subjek itu berurusan dengan masalah komunikasi antarindividu, maka relasi subjek-objek berkenaan dengan persoalan pemaknaan realitas melalui komunikasi itu.

Komunikasi tidak mungkin terjadi tanpa ada individu, individu tidak layak hidup tanpa (membawa) makna, dan makna tidak mungkin muncul tanpa ada komunikasi. Semuanya berada dalam lingkaran ontologis yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi. Dengan kata lain, subjek dan objek saling mengkonstruksi satu sama yang lain. Subjek mengkonstruksi objek dan objek mempengaruhi subjek. Keadaan saling mengkonstruksi dan mempengaruhi ini dengan sendirinya dapat melahirkan dinamika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek dan objek adalah dinamika itu sendiri.

Contoh konkret yang bisa diajukan di sini adalah kebudayaan. Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta karya atau ergon manusia. Manusia sebagai (subjek) pencipta kebudayaan (objek). Sebaliknya, kebudayaan (objek) pada gilirannya dapat mengkonstruksi mode of mind atau life style manusia (subjek). Di sini subjek dan objek dengan sendirinya berada dan bergerak dalam suatu dinamika. Karena kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis (dan lokal), maka mode of mind atau life style manusia pun bersifat dinamis (dan lokal). Dengan demikian manusia hidup dalam dan dengan dinamika kebudayaannya sendiri. Kebudayaan ada karena ada manusia dan tak mungkin ada manusia tanpa kebudayaan.60

Yang paling esensial dalam kebudayaan manusia adalah aktivitas yang bernama pendidikan. Sebab dengan pendidikan manusia dapat membangun peradabannya lebih maju dan baik. Karena itu membangun pendidikan yang berkualitas merupakan tugas dan tanggung jawab kultural manusia itu sendiri. Salah satu kriteria pendidikan yang berkuaslitas tercermin pada prosesinya yang “baik” dan “menyenangkan.” Karena pendidikan itu adalah soal eksistensial, mode of being, manusia dalam suatu kebudayaan, maka pengertian “baik” itu harus mencakup cara-cara yang representatif bagi kemungkinan berkembangnya potensialitas manusia secara sempurna. Dan “menyenangkan” dalam arti bahwa pendidikan itu harus mampu memotivasi anak didik untuk selalu mengembangkan diri menjadi manusia yang berkualitas.61

Semua itu mengandaikan a danya relasi-relasi yang familiar dan manusiawi antara pendidik dan anak didik. Membangun relasi subjek-subjek, bukan subjek-objek, dalam sistem pembelajaran atau pendidikan merupakan suatu bentuk humanisasi yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya human relation antara pendidik dan anak didik. Karena masing-masing mereka berada dan bergerak pada posisi yang sama-sama kuat, yaitu sebagai subjek yang sadar atas diri sendiri dan realitas. Di satu pihak, mereka sama-sama menyadari diri sebagai makhluk yang bermartabat, menganggap diri sebagai subjek yang (harus) bebas dari segala bentuk pressure yang datang dari luar dan bebas untuk mengekspresikan diri secara penuh dan wajar sesuai dengan freedom of conscience-nya. Di lain pihak, mereka sama-sama menyadari realitas yang merupakan fokus persoalan yang harus digarap dan diselesaikan secara bersama-sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama mengandaikan kebebasan bersama dalam arti “Manusia bebas menghormati martabat manusia yang terdapat pada orang lain selain menghormati hak mereka untuk menggunakan kebebasan sebagaimana ia sendiri menggunakan kebebasannya.”62

Dapat dikatakan bahwa kesiapsediaan masing-masing pihak (pendidik dan anak didik) untuk saling pengertian (mutual understanding), saling menghormati, dan saling membangun martabat kemanusiaan merupakan prasyarat utama bagi manifestasi tingkah laku pendidikan yang manusiawi. Jalan yang dianggap paling tepat untuk membangun manusia (anak didik) sesuai dengan martabatnya adalah melalui suatu model pendidikan humaniora yang memperlakukan manusia (anak didik) sebagai subjek yang bebas, bukan objek yang tertindas. Keadaan yang bebas mengindikasikan situasi keberdayaan dan keadaan yang tertindas pasti menunjukkan kondisi ketidakberdayaan.

 3. Arah Pendidikan Humaniora : Pemberdayaan

Pendidikan humaniora berupaya untuk membantu manusia (anak didik) keluar dari kondisi ketidakberdayaan itu menuju keadaan yang berdaya. Dan keadaan berdaya itulah yang menjadi fokus utama pendidikan humaniora sebagai proses pemanusiaan manusia (humanisasi). Pemberdayaan atau empowerment menjadi hal yang ciscaya di sini. Bahkan akhir-akhir ini istilah empowerment seringkali muncul ke permukaan. Merujuk kepada Naila Kabeer, M Sastrapratedja menyatakan bahwa istilah empowerment terkait erat dengan pengertian power, yaitu kekuatan atau keberdayaan. Dalam istilah empowerment,power mengandung arti sebagai (1) daya untuk berbuat (power-to); (2) kekuatan bersama (power-with); dan (3) kekuatan dari dalam (power-within).63 Pendidikan humaniora bertujuan untuk membangun ketiga kekuatan tersebut secara selaras dan seimbang dalam diri individu yang menjadi sasaran pendidikan.

Power -to adalah kekuatan kreatif yang merupakan dimensi individual dari pemberdayaan yang membuat seseorang (anak didik) mampu melakukan sesuatu. Kemampuan melakukan sesuatu menandakan seseorang (anak didik) telah mengalami perkembangan signifikan. Kematangan pribadinya mulai muncul yang pada akhirnya mengarah kepada kemandirian dalam mengambil keputusan, memecahkan masalah, membangun berbagai keterampilan dan pengetahuan. Hal itu dapat tercapai bila aspek individual yang berupa kreativitas anak didik itu bukan saja diakui, tetapi dihargai dan dimuliakan dengan cara menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif dan responsif.

Kreativitas bertalian erat dengan personality dalam arti bahwa pengembangan potensi kreatif itu berpengaruh besar terhadap kepribadian seseorang (anak didik). Jika potensi kreatif anak didik itu mendapat stimuli yang cukup untuk berkembang, maka ia akan tumbuh menjadi manusia kreatif. Orang kreatif biasanya memiliki kepribadian yang lebih integratif, mandiri dan percaya diri (self-reliance). Sebaliknya, orang yang kurang kreatif biasanya potensi kreatifnya tidak berkembang secara maksimal karena mungkin terhambat oleh lingkungan-budaya-belajar yang tidak mendukung. Akibatnya, orang tersebut cenderung inferior, tidak percaya diri, dan bahkan selalu menggantungkan diri kepada orang lain.64 Tipe orang semacam ini mudah dipengaruhi dan dipermainkan oleh orang lain, karena ia tidak mempunyai sikap pendirian yang tegas.

Supaya pembangunan power-to itu tidak mengarah kepada sikap individualistik yang terlampau eksesif, maka harus diikuti dengan pengembangan power-with, yaitu membantu anak didik membangun solidaritas. Ini dapat dicapai melalui penyemaian nilai-nilai sosial-kemanusiaan dalam diri anak didik. Rasa cinta kasih merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang paling luhur yang dimiliki oleh setiap orang. Cinta kasih bisa membuat seseorang peka terhadap kebutuhan orang lain (sense of crisis). Dengan cinta kasih seseorang dapat menebarkan rasa empati dan simpati kepada orang lain. Dengan cinta lasih seseorang dapat menyatukan diri dengan orang lain (sense of belonging). Dan dengan cinta kasih pula seseorang bisa menjadi manusia utuh dan integral, atau semacam personal integration.65 Hanya manusia utuh dan integral yang sanggup membangun solidaritas. Solidaritas muncul karena ada sensibilitas yang sama di antara sesama manusia, yaitu adanya rasa keterpanggilan untuk (saling) mengahargai dan menghormati martabat kemanusiaan secara universal.66 Dengan demikian solidaritas dalam dirinya sendiri tidak bersifat terbatas, tetapi menyeluruh; melintasi batas-batas budaya dan religi ke-manusia-an. Ia menjadi semacam vigor peradaban manusia sejagat.

Kekuatan solidaritas itu tidak datang dari luar (outside in), tetapi tumbuh dari dalam, (inside out) yaitu lewat impuls-impuls kekuatan spiritual (power-within) dalam diri setiap manusia. Power-within ini biasanya tumbuh melalui pengasahan nilai-nialai religius yang bersumber dari agama. Ini sinkron sekali dengan inklinasi kodrati manusia untuk beragama. Di sini agama menjadi kekuatan transendensi manusia dalam menjalin hubungan dengan yang “lain.” Agama menjadi semacam tali perekat antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan penciptanya. Oleh kerena itu, pengembangan power-within melalui penanaman dan pemupukan nilai-nilai religius sangat penting dilakukan sebagai upaya pembeliharaan dan pelestarian transendensi manusia itu sendiri. Penting oleh sebab power-within itulah yang menjadikan manusia lebih manusiawi, karena di situ harga diri manusia dibangun, harkat dan martabatnya dijunjung tinggi, serta nilai-nilai yang memancar dari martabat itu dihargai dan dimuliakan.

 Konklusi : Catatan Akhir

Berbagai anomali kemanusiaan dalam alam budaya pendidikan hanya mungkin dapat diminimalisasi bila pendidikan itu diformulasikan, diorganisasikan, dan dioperasionalisasikan menurut pengertiannya yang hakiki, yaitu sebagai proses pemanusiaan manusia. Inilah great notion, yang terangkun dalam pendidikan humaniora—yang secara konseptual menemukan jejak teoretis-arkeologisnya di dalam tradisi pendidikan Hellenistik dan Romanistik yang berupa paideia atau humanitas.

Pendidikan menemukan formulanya dalam suatu tradisi atau kebudayaan tertentu. Setiap tradisi atau kebudayaan menampilkan model dan gayanya masing-masing. Dimensi ruang dan waktu memiliki arti signifikan di sini. Karena itu pendidikan humaniora yang secara in a nutshell dapat didefinisikan sebagai suatu proses pembangunan manusia secara terus-menerus menuju puncak aktualisasi diri secara selaras dan seimbang dalam kehidupan aktual kini dan di sini.

Dalam prakteknya ini memerlukan suatu sistem pembelajaran atau pendidikan yang kondusif yang memungkinkan mekarnya potensi-potensi manusiawi secara utuh. Di sini peran seorang pendidik sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan sangat menentukan. Profesionalisme seorang pendidik dalam meregulasi bahan ajaran dan mekanisme aktivitas pembelajaran yang baik dan terarah menjadi keniscayaan. Selain juga memberikan ruang kebebasan bagi anak didik untuk mengembangkan diri secara wajar.

Patut dicatat bahwa pemberian kebebasan itu tidak dilakukan secara permisif, tetapi secara proporsional dan bertanggung jawab. Mungkin semacam “pemberian kebebasan dengan batas-batas.” Di sini seorang pendidik harus tahu kapan ia boleh berkata “ya” dan kapan ia harus berkata “tidak” kepada anak didiknya. Demikian juga seorang pdndidik harus tahu terhadap anak didiknya yang patut diberi guidance dengan kata-kata “ya” atau “tidak” itu. Sebab, pemberian kebebasan yang berlebihan, dan tanpa observasi yang cermat, memungkinkan anak didik cendrung untuk bersikap arogan dan egois. Sebaliknya, pendidikan yang terlalu mengekang dan membatasi anak didik untuk berkembang secara alamiah membuat mereka menjadi pribadi antagonis dan vandalis

Untuk menyinkronkan kedua ekstremitas ini tentu saja diperlukan suatu pendekatan atau model pendidikan yang lebih fleksibel, persuasif, dan egaliter yang diharapkan mampu melahirkan anak didik yang kritis dan kreatif, tapi santun dan beradab. Semacam pendidikan humaniora yang punya concern khusus terhadap pembangunan manusia dan kemanusiaan secara utuh. Cita-cita pendidikan semacam ini hanya mungkin menjadi bermakna bila diterjemahkan ke dalam bentuk konkret lakon-budaya-pendidikan yang ramah, humanis, dan demokratis. Hanya dengan cara itu peradaban manusia tidak sekadar cantik dan indah dipandang mata, tetapi juga luhur. Keindahan dan keluhuran suatu peradaban tampak manakala harkat dan martabat manusia dijungjung tinggi. Karena hanya manusialah yang mempunyai peradaban, maka pendidikan sebagai aksi kebudayaan mestinya mampu mengangkat maratabat kemanusiaan itu, sehingga lahirlah manusia-manusia yang beradab dan berperikemanusiaan, dan pendidikan tetap menjadi pilar peradaban sejati bagi umat manusia di mana dan kapan pun.

 

33 Sengaja penulis membuka tulisan ini dengan narrative style dan personal untuk lebih menyentuh hati, perasaan, dan pikiran bahwa problem solving pendidikan di tanah air adalah soal duty dan responsibility bersama setiap individu. Menenggelamkan diri dalam suatu cerita adalah salah satu cara mengakrabi realitas sosial. Dan c erita ini bukan khayalan atau hoax, tapi benar-benar kisah nyata yang diturunkan dari pengalaman riil penulis dan orang-orang yang ada di sekitar penulis sepanjang dua puluh tahun terakhir. Jika kisah nyata pendidikan dalam cerita ini menjadi suatu soal, maka kisah nyata pendidikan di Tomoe Gaukuen, di Tokyo Tenggara, yang dibukukan oleh Tetsuko Kuroyanagi dengan judul Totto-Chan : Gadis Cilik di Jendela dapat dijadikan sebuah model jawaban alternatif terhadap kisah-kisah pendidikan yang penulis turunkan di sini. “Aku yakin jika sekarang ada sekolah-sekolah seperti Tomoe, kejahatan dan kekerasan yang begitu kita dengar sekarang dan banyaknya anak putus sekolah akan jauh berkurang. Di Tomoe tak ada anak yang ingin pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai. Dan di pagi hari, kami tak sabar ingin segera sampai ke sana. Begitulah sekolah itu,” demikian tutur Tetsuko Kuroyanagi pada “Catatan Akhir”nya dalam buku tersebut.

34 Nurul Huda SA, “Pendidikan Tanpa Kekerasan,” dalam Kompas, 21 Maret 2000.

35 Dikutip dari sebuah judul tulisan yang diturunkan Sindhunata pada pengantarnya dalam majalah Basis, No 07-08 Tahun ke-49, Juli-Agustus 2000, hlm. 3.

36 Ivan Illich menulis buku : Deschooling Society yang di Indonesiakan oleh A Sonny Keraf menjadi : Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, yang pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2000. Di dalam buku tersebut diuraikan secara kritis dan tajam bahwa dengan kegiatan-kegiatannya yang cenderung ilusif, manipulatif, represif, tiranik dan anti edukasi yang kadang-kadang melahirkan masyarakat mengalami gangguan-gangguan kejiwaan, sekolah oleh Ivan Illich dianalogikan dengan penjara yang kerapkali membelenggu masyarakat. Oleh karena itu, Robert T. Kiyosaki, seorang guru sekolah para jutawan, menyarankan melalui judul bukunya yang dianggapnya jelek, tapi Best Seller secara internasional: If You Want to Be Rich and Happy, Don’t Go to School?, yang berarti : Jika Kamu Ingin Menjadi Orang Kaya dan Bahagia, Jangan Pergi ke Sekolah? Alasan lebih lengkapnya baca juga (bukunya yang lain) : Rich Dad, Poor Dad : Apa yang Diajarkan Orang Kaya pada Anak-anak Mereka Tentang Uang--Yang tidak Diajarkan oleh Orang Miskin dan Kelas Menengah! Edisi Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2002.

37 Masdjudi, “Menggusur Kurikulum Padat,” dalam JurnalPendidikandanKebudayaan, No 018 Tahun ke-5 September 1999, hlm. 5.

38 Ibid ., hlm. 2. Dengan kurangnya kesempatan anak-anak untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya, maka perkembangan keterampilan fisik dan sosial (keterampilan menentukan diri secara fisik dan sosial) mereka menjadi terhambat, yang pada gilirannya membuat anak-anak gagal mencapai kedewasaan emosional dan kematangan pribadinya. Akhirnya, anak-anak gagal menemukan jati dirinya. Lihat, Prof Dr Djohar MS, “Pembangunan Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan,” dalam Jurnal Media Inovasi, No I Tahun VIII 1998, hlm. 42.

39 Ignas Kledan, “Epistemologi Kekerasan di Indonesia,” dalam Kompas, edisi khusus 20 Desember 2000.

40 Lihat, Rachmat Pambudy, “Membangun Ekonomi Indonesia Melalui Wirausahawan Generasi Baru,” dalam Kompas, Edisi khusus 20 Desember 2000.

41 Ignas Kleden, op.cit.

42 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 763-4.

43 Lihat, Tim Penerbit Kanisius, Driyarkara Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Kanisus, 1991, hlm. 87.

44 Torsten Husén dan T Neville Postleth Waite, The International Encyclopedia of Education, Tokyo, Pergamon, 1994, hlm. 2692.

45 Frank G Goble, Mazhab Ketiga : Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm. 96. Menurut Maslow orang yang telah sampai pada puncak aktualisasi diri disebut manusia superior. Ciri-ciri manusia superior biasanya memiliki : kemampuan yang jauh di atas rata-rata, bersikap tegas dan memiliki pengertian yang lebih jelas tentang yang benar atau yang salah, mampu menembus realitas yang tersembunyi, suka bekerja keras dan melaksanakan pekerjaan, tugas dan kewajiban dengan baik, kadar konflik dirinya rendah, memiliki “kemerdekaan psikologis,” mampu menikmati hidup dan mengambil manfaat dari hidup, bersikap objektif dan fokus pada masalah, memiliki konsentrasi tinggi, cenderung bersikap teoretis sekaligus praktis, menyukai suasana tenang, damai dan lain-lain. Ibid., hlm. 50-68.

46 Lee C Deighton (ed) , The Encyclopedia of Education, Vol. 4, USA, Macmillan Company and Free Press, 1971, hlm. 519.

47 E Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hlm. 26.

48 Torsten Husén dan T Neville Postleth Waite, op.cit., hlm. 2693.

49 Ibid. Lihat juga, Lee C Deighton (ed), op.cit., hlm. 519-520.

50 Dr J H Rapar, Th.D, Ph.D, Filsafat Politik Plato, Jakarta, Rajawali Press, 1991, hlm. 8.

51 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta, UI-Press, 1986, hlm. 35.

52 Lee C Deighton, op.cit., hlm. 519.

53 J Blikolong, “self Education sebagai Inti Pendidikan,” dalam majalah Basis, No V, XXXIV, Mei 1985, hlm. 170.

54 Frank G Goble, op.cit., hlm. 48.

55 Jos é Ortega Y Gasset, The Dehumanization of Art and Others Essays on Art, Culture, and Literature, Princiton University Press, New Jersey, 1972, hlm. 190. Bandingkan, Tim Penerbit Kanisius, op.cit., hlm.81.

56 Dr JH Rapar, Th.D. Ph.D, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta, Rajawali Press, 1993, hlm. 43.

57Ibid., hlm. 43-4.

58 Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1984, hlm. 4.

59 Paulo Freire menganggap pendidikan yang manusiawi sebagai suatu proses pembebasan yang menempatkan manusia dalam suatu hubungan subjek-subjek, bukan subjek-objek. Suatu konsep pendidikan yangberorientasi pada konsientisasi manusia dalam mengenali problem eksistensialnya. karena itu strategi pendidikan dipandangnya lebih sebagai problem solving daripada banking system. Tugas pendidikan adalah mengkombinasikan antara manusia dengan dunianya, antara subjektivitas dan objektivitas, antara idealitas dan realitas, antara das sollen dan das sein, antara teori dan praktek dalam suatu hubungan kritis-dialektis. Bandingkan, Shor dan Paulo Freire, Menjadi Guru Merdeka : Petikan Pengalaman, Yogyakarta, LKiS, 2001, hlm. 50-79.

60 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hlm. 61.

61Analisis kritis dan komprehensif tentang kualitas manusia ini lihat, Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3ES, 1988, hlm. 105-141.

62 Soedjatmoko, Pembangunan dan Kebebasan, Jakarta, LP3ES, 1985, hlm. 115.

63 M Sastrapratedja SJ, Pendidikan sebagai Humanisasi, Yogyakarta, USD, 2001, hlm. 11-13.

64 Sodiq A Kuntoro, “Nilai-nilai Keagamaan dalam Pengembangan Kreativitas Anak Suatu Tantangan Bagi Kehidupan Modern,”dalam Cakrawala Pendidikan No3 Tahun XI, Nopember 1992, hlm. 15.

65 Lihat, Jonh P Miller, Humanizing of the Classroom : Models of Teaching in Affective Education, New York, Praeger Publishers, 1976, hlm. 5.

66 Paulo Freire menyatakan, sebagaimana disitir oleh Denis Collins, bahwa manusia itu memiliki penggilan ontologis, yaitu untuk menjadi semakin manusiawi. Lihat Denis Collins, Paulo Freire, Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Komunitas APIRU Yogyakarta, 1999, hlm. 85.

 

Biodata

*Mudda’i, lahir di Sumenep 1977, dalam sebuah keluarga tanpa tradisi pendidikan : membaca filsafat dan sastra. Cita-citanya sederhana : menjadi manusia pembelajar. Aktivitasnya lebih sederhana : bergulat dalam dunia self-education. Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini belajar menulis (puisi, cerpen, artikel dan esai) sejak dari bangku Sekolah Menengah Pertama hingga sekarang. Ia pernah meraih piala Rektor IAIN Sunan Kalijaga dan piala Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, masing-masing sebanyak dua kali dalam Sayembara Penulisan Artikel dan Esai di Yogyakarta, tahun 1999-2002. Saat ini, selain sibuk mencari jalan menuju ruang dan waktu menjadi manusia pembelajar, juga menerjemah beberapa buku (pendidikan, sosiologi dan kebudayaan) dari bahasa Inggris dalam proses publikasi. Sekarang tinggal di Tanggulun, Montorna, Pasongsongan, Sumenep 69457.

 

 Back To Daftar Isi

Melayani Kebutuhan Siswa Kelas Reguler

Melalui Pengajaran Berbasis Kelas

Oleh. Ngadi

A. Latar belakng

Kelas adalah kumpulan individu siswa yang memiliki karakteristik unik, baik secara intelektual, sosial, ekonomi, ras, dan lain-lain. Mereka membutuhkan layanan pengajaran guru yang sesuai karakter individual mereka. Artinya, guru harus berperan sebagai seorang “artis dan sutradara oscar” dalam kelas reguler umumnya berjumlah 30 sampai 40 siswa tiap kelas untuk mencapai kompetensi dasar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum. Bisa jadi pembelajaran guru efektif untuk salah satu siswa tetapi tidak untuk siswa lain.

Hal lain yang menyulitkan guru dalam pengajarannya adalah tuntutan ketercapaian kompetensi dasar dalam kurikulum itu sendiri. Setiap matapelajaran memiliki standar kompetensi berbeda-beda sehinga membutuhkan teknik penuntasan yang berbeda pula. Pada kompetensi dasar pemfaktoran (dalam matapelajaran matematika ) misalnya, mungkin lebih relevan dilakukan dengan komperatif, tetapi untuk kompetensi dasar lain tidak demikian. Bahkan, untuk kompetensi dasar yang sama, sangat efektif pada sekolah tertentu dan menjadi tidak efektif untuk sekolah lain akibat situasi dan kondisi yang berbeda. Tidak adanya metode tunggal yang efektif dalam kelas, sebab pemilihan dan penggunaan metode tersebut adalah sangat situasional. Guru harus berkompeten dan profesional secara keilmuwan, memilih dan mengembangkan metode pengajaran yang paling tepat untuk kebutuhan siswanya pada saat itu, sehingga seluruh siswa dapat mencapai standar kompetensi dasar yang sama.

Pertnyaannya kemudian, bagaimana mengindentifikasi, memilih, merancang dan mengimplimentasikan metode pembelajaran yang dipercaya efektif untuk melayani siswa yang memiliki karakteristik individu yang unik dalam kelas reguler? Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang dapat dipertimbangkan guru agar pembelajaran dalam kelas reguler menjadi efektif untuk seluruh kelas.

B. Siswa Sebagai Individu

Sebelum memulai pengajaran, pertama yang harus dilakukan oleh guru adalah mengenal siswanya sebagai seorang individu, dengan segala keunggulan dan keterbatasannya, kekuatan dan kelemahannya. Dapat dibayangkan, jika guru tidak mengenal karakteristik setiap siswanya dengan baik. Contoh, dalam sebuah kelas terdapat salah satu siswa yang memiliki kendala penglihatan, tetapi siswa tersebut duduk di kursi belakang, atau terdapat salah satu siswa yang belum makan pagi, tetapi harus melakukan kegiatan fisik (olahraga atau praktek mesin), atau memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata normal. Idealnya, guru harus mengenal “luar dan dalam” karakteristik seluruh siswanya, meskipun karena keterbatasan dan membutuhkan waktu yang lama, maka hal tersebut tidak memungkinkan.

Secara instan, guru minimal harus dapat mengenali individu siswanya pada tiga aspek, yaitu : (1) taraf perkembangan intelektual kognitif, (2) taraf perkembangan sosio emosional, dan (3) taraf perkembangan fisik psikomotorik. Taraf perkembangan intelektual kognitif berhubungan dengan tingkat intelegensia, perkembangan bahasa, kemampuan berfikir kritis dan kreatif, serta keterampilan memecahkan masalah (Hudgins, 1985 : 33). Hal lain yang berhubungan dengan hal ini adalah keterampilan pemahaman, kemampuan belajar, strategi pemprosesan informasi, serta keterampilan akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung. Guru dapat mendapatkan referensi mereka melalui hasil tes psikologi siswa, rekaman hasil belajar sebelumnya, atau membaca buku-buku yang mendiskusikan tentang teori perkembangan peserta didik, atau dari berbagai sumber yang relevan tentang karakteristik intelektual siswa yang akan diajar.

Taraf perkembangan sosio emosional adalah karakteristik yang berhubungan dengan kesehatan emosional dan perkembangan personal, seperti ketertarikan, sikap, norma, nilai dan standar moral, serta psikoseksual (Hudgins, 1985 : 33). Guru dapat memperoleh referensi karakteristik di atas melalui rekaman pengamatan siswa selama pembelajaran sebelumnya (dalam kurikulum 2004 termasuk dalam penilaian aspek afektif yang tidak dinilai dalam bentuk skor melainkan ditulis secara deskriptif).

Taraf perkembangan fisik dan psikomotorik adalah karakteristik yang berhubungan dengan kemampuan gerak meliputi koordinasi mata-tangan, pengaturan gerak yang tepat dan benar, pengaturan anggota tubuh kiri dan kanan. Pemahaman karakteristik ini penting terutama pada tingkat pendidikana awal (pra sekolah) atau pendidikan kejuruan (vokasional), semisal bagaimana cara memegang pensil, memanfaatkan dua buah segi tiga untuk membuat garus sejajar, menendang bola dengan kaki kanan dan kiri, dan sejenisnya. Guru dapat memperoleh referensi hal tersebut melalui kartu rekaman perkembangan siswa di bagian layanan Bimbingan dan Konseling Sekolah (umumnya KBK tidak memperhatikan aspek ini, bahkan pada kurikulum 2004 rekaman aspek fisik-psikomotorik tidak mendapat porsi selayaknya).

Agar efektif guru dalam melayani kebutuhan siswa secara individu, maka ia harus mengakomodasi karakteristik seluruh siswanya, dengan jalan mengindentifikasi latar belakang dari berbagai sumber yang relevan serta menganalisanya sehingga dapat memberikan layanan pengajaran secara tepat dan akurat (sesuai dengan potensi yang dimiliki). Untuk itu, diperlukan informasi yang relevan, up to date, lengkap, detail, sesuai dengan tempat dan sasaran (Pidarta dalam Subari, 1990 : 57). Tidak ada sebuah cara yang paling tepat di dalam memutuskan bagaimana keputusan guru dalam menentukan pengajarannya, apalagi peraturan yang mengharuskan menggunakan model pembelajaran tertentu dalam mencapai kompetensi dasar siswa. Cara yang paling baik dalam pembelajaran adalah bagaimana menciptakan pembelajaran yang memungkinkan memanfaatkan segala potensi (kekurangan dan kelebihannya) yang dimiliki serta yang disukai siswa (Meier, 2001 : 34) secara alamiah. Gurulah yang mengetahui karakteristik para siswanya sehingga guru pula yang memiliki hak untuk memutuskan cara terbaik siswanya dalam mencapai kompetensi dasar sebagaimana tuntutan kurikulum.

Jika hal ini dilakukan, maka siswa akan merasa diperlakukan secara manusiawi yang memahami kelebihan dan kekurangannya, menjadikan kegiatan pembelajarannya sebagai beban dan terciptanya kegembiraan dan kesenangan dalam belajar (Meier, 2001 : 29). Siswa menjadi terlibat dalam pembelajaran (aktif) dan diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuannya untuk memutuskan suatu masalah dalam hidupnya sesuai dengan nilai yang dianutnya, yang merupakan pondasi untuk mencapai kebutuhan aktualisasi dirinya sebagai seorang manusia (Hudgins, 1985 : 399). Guru yang baik adalah yang memahami siswanya dan membantunya (Nasution, 1999 : 59).

C. Fungsi Guru dalam Pembelajaran

Terkadang, banyak orang tua siswa bahkan masyarakat (di Indonesia) yang menyalahkan guru atau sekolah jika banyak siswanya yang gagal dalam Ujian Nasional (Unas) tanpa melihat latar belakang siswa itu sendiri. Tidak ada seorangpun guru yang menginginkan siswanya gagal dalam ujian, berbeda dengan profesi “kotor” lain. Guru bukanlah “mesin” yang mencetak siswa sesuai dengan keinginan guru atau kurikulum. Siswa bukan obyek yang pasif dan patuh (Meier, 2001 : 29) terhadap kemauan guru, meskipun guru selalu mengharapkan siswanya mempelajari apa yang diajarkan (Nasution, 1999 : 143).

Dalam pembelajaran, peran guru hanyalah bertugas menggerakkan dan mengembangkan potensi diri siswa untuk menuntaskan kompetensi dasar semaksimal mungkin sesuai dengan tuntutan kurikulum (Subari, 1990 : 204) dan taraf perkembangan siswa sebagai individu. Hal ini sejalan dengan paradigma konstruktivis, bahwa peran guru hanya memberikan tangga (baik fisik maupun psikologis), yaitu membimbing siswanya kepada suatu pemahaman yang lebih tinggi, sedangkan siswa sendirilah yang mendaki tangga tersebut (Slavin, 1995 : 134). Guru tidak boleh memaksakan siswa untuk mencapai kompetensi dasar secepat siswa lain dalam kelas (sesuai dengan waktu yang ditentukan), karena tingkat perkembangan dan latar belakang siswa yang berbeda-beda tersebut.

Karena guru dihadapkan pada kelas reguler, maka pertanyaannya adalah bagaimana guru menyediakan layanan pembelajaran sejumlah siswa yang berkarakteristik unik tersebut. Idealnya, jika pembelajaran mensyaratkan seluruh siswa dalam kelas reguler mencapai kompetensi dasar yang sama, maka kurikulum sekolah harus diberlakukan sebagaimana pada Perguruan Tinggi, yaitu Sistem Kredit Smester (SKS). Dengan sistem tersebut, siswa berkarakter superior akan menyelesaikan waktu lebih cepat daripada siswa yang lambat belajar untuk mencapai kompetensi dasar (kompetensi dasar) yang sama. Jika ini dilakukan, maka lebih menjamin ketercapaian/ketuntasan kompetensi dasar seperti dalam kurikulum. Namun, implementasi SKS di sekolah-sekolah akan menyulitkan terutama pada sekolah pinggiran atau memiliki siswa mayoritas berkemampuan lambat belajar yang memiliki peluang ketidaklulusan sangat besar, sehingga memiliki potensi mengulang materi pelajaran (remedial) sangat besar. Apalagi kendala seperti keterbatasan waktu belajar dan program wajib belajar dari Pemerintah. Dapat dibayangkan betapa rumitnya, jika tiap tahun banyak siswa yang tidak lulus pada kompetensi (kompetensi dasar atau matapelajaran) tertentu. Hal inilah yang menyebabkan implimentasi kurikulum 2004 masih “setengah hatu”.

Kreatifitas dan profesionalitas guru dituntut untuk mengatasi masalah di atas. Artinya, guru harus mengembangkan metode pembelajaran inovatif, yang mampu mengembangkana potensi dan sesuai dengan karakteristik individu siswa yang unik untuk mencapai kompetensi dasar yang sama sesuai dengan tuntutan kurikulum siswa yang unik untuk mencapai kompetensi dasar yang sama sesuai tuntutan kurikulum serta membutuhkan waktu yang sama sebagaimana siswa lain dalam ekelas reguler dengan mengoptimalkan seluruh potensi sekolah yang ada. Oleh karena itu, fungsi guru bukan hanya sebagai pengajar saja, tetapi juga sebagai pengembang pembelajarannya, apapun bahannya dan bagaimanapun caranya dengan mengakomodasi karakterisktik unit siswa di atas. Dapat dibayangkan betapa beratnya tugas guru sementara kesejahteraan mereka oleh pemerintah hanya layak dihargai melalui sebuah lagu Hymne Guru. Mungkin alasan inilah, sehingga banyak guru menderita tekanan mental paling tinggi dibandingkan profesi lain (Nasution, 1999 : 194).

D. Implikasi Pembelajaran Berbasis Sekolah

Implikasi dalam pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan guru dalam rangka mencapai ketuntasan kompetensi dasar (kompetensi dasar) sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mengakomodasi karakter individual siswa serta alokasi waktui belajar sebagai sebuah kelas reguler, dapat dilihat pada Gambar. 1. agar lebih relevan dan menjamin efektifitas, keterlaksanaan serta mengoptimalkan segala potensi dalam kelas/ sekolah dapat mengadopsi pola pengajaram berbasis kelas.

Langkah-langkah dalam pembelajaran berbasis kelas yang dapat dipertimbangkan dan dilakukan guru, adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi Kompetensi Dasar dalam Kurikulum

Setuju atau tidak, meskipun hal itu sangat kontradiktif dengan harapan pemerintah yang ingin menciptakan Broad Based Education dengan sistem terbuka, tujuan akhir pembelajaran yang dilakukan guru/sekolah adalah mengantarkan dan mengembangkan potensi siswanya mencapai kompetensi dasar sesuai kurikulum yang ditetapkan oeleh pemerintah (kecuali pada matapelajaran tertentu yang bersifat lokal). Sehebat apapun guru, manakala pengetahuan dan keterampilan siswa yang dimebnagkan tidak sesuai dengan kurikulum, maka hasil pembelajaran hanya sia-sia. Guru tidak memiliki pilihan tentang tujuan, isi, bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Depdiknas, 2003 : 7). Oleh karena itu, sebelum memulai pembelajaran guru harus mengidentifikasi rincian standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum secara lengkap dan detail, relevam, up to date sesuai dengan tempat dan sasaran yang disyaratkan dalam kurikulum.

2. Mengidentifikasi Fungsi-fungsi Mencapai Kompetensi Dasar

Terdapat berbagai fungsi yang terlibat dalam rangka mencapai kompetensi dasar seeuai kurikulum yang relevan dengan karakteristik individu siswa, antara lain : (a) karakteristik individu siswa, (b) kuantitas dan kualitas guru/BK, (c) iklim akademik dalam kelas/sekolah, (d) fasilitas ekelas/sekolah, (e) hubungan sekolah dengan masyarakat/lembaga lain, dan (f) afaktor pendukung lainnya. Identifikasi fungsi karakteristik individu siswa (meliputi aspek intelegensi kognitif, fisik psikomotorik dan sosio emosional siswa) diperlukan dalam rangka menemukan kelemahan dan potensi diri siswa, kesenangan dan harapannya dalam belajar, yang pada akhirnya dapat digunakan guru untuk memberikan layanana pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik individual mereka. Fungsi kualitas dan kuantitas guru/BK diperlukan untuk mengetahui kesiapan, kompetensi, dan profesionalitas dalam pelayanan individual terhadap siswa baik secara fisik, psikologis, dan keilmuwan. Fungsi iklim akademik dalam kelas/sekolah bertujuan untuk mendapatkan data tentang kondisi aktivitas dan motivasi guru dan siswa dalam pembelajaran. Ketersediaan fasilitas kelas/sekolah bertujuan untuk memanfaatkan segala potensi yang ada di dalam lingkungan sekolah untuk mencapai tujuan pembelajaran, sehingga menghadirkan pembelajaran yang murah, meriah, namun efektif. Sedangkan fungsi hubungan dengan masyarakat sekitar/lembaga lain bertujuan untuk menghasilkan pembelajaran secara kontektual, real life, broad based education dengan sistem terbuka, serta mendapatkan dukungan lainnya baik secara fisik atau psikologis.

3. Menganalisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Fungsi-fungsi

Semua fungsi-fungsi di atas harus dianalisis oleh guru secara cermat berdasarkan kekuatan (strengthness), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threats). Guru harus membuat rambu-rambu kriteria kesiapan atau indikator terhadap fungsi-fungsi tersebut, kemudian membandingkan dengan kondisi nyata yang ada di kelas/sekolah tersebut pada saat sekarang atau selama ini. Jika antara indikator dengan kondisi nyata sekolah sesuai/relevan didominasi oleh kekuatan dan peluang, maka kegiatan yang akan dilaksanakan memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi. Artinya, kegiatan tersebut layak dan siap dilaksanakan. Sebaliknya, manakala fungsi tersebut didominasi kelemahan dan ancaman, maka peluang kegagalan semakin tinggi, dan kegiatan tersebut belum siap dilaksanakan. Dari analisis ini, guru dapat mencari inovasi sehingga fungsi-fungsi yang mengandung kelemahan dan ancaman tersebut dapat direduksi, sehingga menjelma menjadi kekuatan yang memberikan peluang keberhasilan maksimal.

4. Menentukan Strategi Pengajaran yang Dapat Dipercaya dan Akurat

Banyak strategi pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru dalam mencapai kompetensi dasar siswa. Yang jelas, tidak ada sebuah resep strategi pembelajaran tunggal yang paling efektif, sebab pemilihan dan penggunaan strategi tersebut bergantung pada kompetensi dasar yang akan dicapai, karakteristik siswa, sarana prasarana yang tersedia dan kompetensi guru dalam menggunakan strategi itu sendiri. Artinya, guru memiliki kewenangan dalam menentukan strategi pengajarannya dengan syarat-syarat di atas serta memperhatikan peluang keberhasilan. Yang terpenting, setelah strategi ditentukan, maka yang harus dilakukan adalah merinci langkah-langkah dari strategi tersebut dengan memperhatikan skala prioritas dan skenario keterlaksanaannya. Kemampuan dalam membuat langkah-langkah yang baik akan memberikan hasil efektif dan efisien.

5. Mengembangkan daan Mengimplimentasikan Perangkat Pembelajaran

Terdapat dua langkah besar yang harus dilakukan guru dalam menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan karakter individu siswa dalam kelas reguler, yaitu : (a) mengembangkan perangkat pembelajaran siswa/LKS, dan (b) menerapkan perangkat pembelajaran tersebut dengan strategi yang tepat.

Perangkat pembelajaran siswa atau LKS (Lembar Kerja Siswa/Work Sheet) adalah salah satu sarana yang dapat digunakan untuk membantu mencapai kompetensi dasar siswa (dalam tulisan ini penulis mengasumsikan buku teks siswa termasuk perangkat pembelajaran yang dikembangkan guru, meskipun sebenarnya juga harus dikembangkan guru).

LKS yang baik adalah dibuat oleh guru sendiri, sebab guru adalah orang yang paling tahu tentang karakter siswanya dan bagaimana cara mencapai kompetensi dasarnya melalui LKS tersebut. Karena siswa yang unik, maka LKS di dalam kelas reguler harus dirancang sedemikian, sehingga semua siswa dapat menuntaskan kompetensi dasarnya. Ada baiknya, LKS dibuat tiga macam, yaitu (1) LKS Penuntun Belajar, yang berisi pengetahuan kecil yang membantu menguatkan topik dan kosa kata dalam setiap bab atau merangsang agar seluruh siswa membaca buku teks siswa dan dikhususkan untuk semua siswa, (2) LKS Penguatan, yang berisi aktivitas bernariasi untuk membantu siswa berkemampuan rata-rata dalam mencapai catatan atau konsep kunci penting setiap bab, dan (3) LKS Pengayaan, untuk memberikan tantangan siswa berkemampuan di atas rata-rata dalam mendesain, menginterpretasikan, serta penyelidikan secara ilmiah yang berhubungan dengan kompetensi dasarnya, misalnya LKS Kegiatan/Praktikum, LKS Berfikir Kritis dan Kreatif, LKS Menghubungkan Ilmu, Teknologi dan Masyarakat, LKS Keimanan dan Ketaqwaan, LKS Budi Pekerti, Portofolio dan LKS yang lain.

Yang perlu diingat dalam membentuk LKS adalah bahwa guru harus mempertimbangkan karakter siswa atau audience, apa yang diharapkan dari perubahan pada siswa atau behavior sesuai dengan kompetensi dasar, isi yang ditulis atau degree (Parera, 2000 : 1) serta keterbatasan teks. Artinya, informasi yang disampaikan teks tersebut dapat dipahami oleh pembaca (Parera, 2001 : 6)

Perangkat pembelajaran siswa atau LKS tersebut selanjutnya harus dapat diimplimentasikan dalam pembelajaran secara maksimal. Agar menjamin kualitasnya, ada baiknya LKS melalui uji validitas ( isi dan konstruksi) oleh para pakar atau guru senior serta uji keterlaksanaan melalui kegiatan simulasi ata ujicoba terhadap kelompok kecil terdahulu. Melalui validasi pula, akan dihasilkan perangkat yang telah direvisi selanjutnya siap diimplementasikan dalam kelas sesungguhnya. Yang terpenting dalam kegtiatan ini adalah, LKS yang disusun guru harus sesuai dengan kompetensi dasar dalam kurikulum, karakteristik siswa, ketersediaan peralatan di kelas/sekolah dan dapat dilaksanakan dlaam kelas reguler. Jangan samapai guru dalam membuat LKS akan lebih mempersulit siswa dan tugas guru dalam pembelajaran.

6. Memberikan Penilaian dan Evaluasi

Setiap akhir kegiatan memerlukan penilaian dan evaluasi untuk mengukur sejauhmana ketercapaian kegiatan terhadap tujuan yang diharapkan dan pada akhirnya nanti mendapatkan solusi alternatif untuk mengatasi kegagalan. Dalam pembelajaran, keberhasilan pembelajaran dapat diukur melalui keberhasilan siswa dalam mencapai standar kompetensi suatu matapelajaran (Depdiknas, 2003: 1), sebagaimana disyaratkan dalam Kurikulum yang diperoleh melalui tugas-tugas, portofolio, kuis, ulangan harian, atau ulangan blok. Agar dapat diukur, maka guru harus menentukan standar kompetensi minimal clan indikator yang mengklasifikasi siswa yang dinyatakal "gagal" atau "lulus" dalam mencapai standar kompetensi (dalam Kurikulum 2004 siswa dinyatakan lulus jika telah kompeten menguasai > 75% dari standar komptensi minimal) setiap mata pelajaran yang telah ditempuh. Dari data penilaian inilah akan diketahui siswa manakah yang tidak lulus clan memerlukan remidi (menguasai <75% kompetensi dasar) , serta siswa yang lulus memerlukan pengayaan (menguasai >_ 75% sampai <_89% dari kompetensi dasar) serta siswa manakah yang telah diperkenankan mengikuti kompetensi dasar berikutnya (menguasai 90% ke atas dari kompetensi dasar). Selain itu, dapat diketahui pula kompetensi dasar manakah yang belum dikuasai siswa atau ketuntasan Komptensi Dasar, dan persentase keberhasilkan kelas atau ketuntasan klasikal. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan ketuntasan siswa secara individual sebagai anggota kelas secara reguler tersebut, sehingga semua siswa tuntas dalam rentang waktu yang sama. Secara teori, guru dapat melakukan pengayaan terhadap siswa berkategori mendapatkan pengayaan dengan jalan memberikan materi tambahan pada kompetensi tertentu yang belum tuntas. Sedangkan terhadap siswa berkategori dapat mengikuti kompetensi dasar berikutnya misalnya kegiatan belajar penyelidikan mandiri dengan dipandu LKS Kegiatan/Praktikum, atau LKS yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi. Sedangkan, untuk siswa yang berkategori belum tuntas, akan dilakukan remidi. Kenyataan di lapangan, adakah guru yang mau melakukan serangkaian kegiatan di atas? Jawabannya jelas, 100% tidak ada guru yang mau melakukan. Dalam hal remidi misalnya, guru hanya melakukan ujian ulang (her ujian) dan hasil penilaian langsung dihakimi "Tuntas." Sedangkan pengayaan dan penguatan tidak ada yang melakukan. Akibatnya, ketuntasan siswa adalah "omong kosong." Tiga alasan besar dari fenomena ini dikarenakan beban mengajar (jam mengajar) guru yang sangat padat, kondisi kelas reguler yang besar, serta alokasi waktu pelajaran reguler yang kaku clan terbatas. Padahal, jika mengacu Hudgins (1985: 102), menggunakan kurva normal dapat diprediksi pula bahwa peluang siswa berkategori tindak tuntas belajar sekitar 40% dari seluruh siswa dalam kelas reguler. Jika hal di atas tidak mendapatkan pelayanan serius, bagaimana nasib mutu pengajaran guru?

 7. Memberdayakan Fungsi BK/BK

Selama ini muncul pandangan "miring" tentang fungsi BK selama ini di sekolah-sekolah, baik oleh siswa itu sendiri, orang tua/masyarakat, bahkan oleh guru. BK dianggap sebagai "polisi" sekolah, yang mengidentifikasi, mengintimidasi clan menghukum siswa yang berperlilaku negatif. Lebih menyedihkan, umumnya guru BK adalah guru "buangan" dari guru kelas atau guru matapelajaran yang bermasalah. Hal ini adalah salah besar.

Fungsi BK adalah membantu segala permasalahan siswa dalam rangka mencapai tujuan belajarnya (Depdiknas, 2004: 11), baik secara intelektual kognitif, sosio emosional, maupun fisik psikomotorik, sehingga siswa dapat menemukan diri, mengarahkan diri serta mengaktualisasi diri sesuai tahap-tahap perkembangan, sifat-sifat, potensi, latar belakang serta lingkungan sehingga tercapai kebahagiaan dalam kehidupannya (Depdiknas, 2004: 4).

Mengacu paparan di muka, siswa yang ditangani BK bukan hanya berkategori siswa "luar biasa" atau exceptional learners (Hudgins, 1985: 98), di mana memiliki peluang muncul sekitar 2% dalam kelas reguler (baik yang superior atau lambat belajar), atau siswa berperilaku negatif dan sejenisnya yang memiliki peluang 8,2%, melainkan juga siswa yang tidak tuntas dimana berpeluang 40%, sehingga total siswa yang "bermasalah" adalah 50,2% dalam kelas reguler. Jika 50.2% siswa "bermasalah" dalam belajarnya tersebut ditangani guru/BK yang kurang professional, bagaimana nasibnya?

Dalam rangka mencapai pembelajaran efektif yang melayani karakteristik invidual, sekolah harus mengembangkan fungsi BK untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam mencapai kompetensi dasarnya (sekolah-sekolah di Amerika Serikat menggunakan model ini) tersebut. Oleh karena itu, BK seharusnya didalamnya terdiri dari guru yang memiliki kompetensi, profesionalitas, dan keunggulan (seperti pengalaman dan kematangan emosional) lain lebih tinggi dibandingkan guru kelas reguler. Dengan pertimbangan, menangani exceptional learners akan lebih sulit jika dibandingkan siswa normal.

BK tersebut bertugas membantu siswa yang tidak tuntas kompetensi dasar dalam kelas reguler menjadi tuntas dan mengembalikan serta mempertanggung jawabkan siswa tersebut ke kelas reguler jika telah tuntas. Oleh karena itu, perlu koordinasi antara guru matapelajaran, wali kelas, dan petugas BK dengan baik. Karena sekolah-sekolah di Indonesia menganut pola pembelajaran reguler sistem klasikal, maka BK dapat memberikan diskursus pada siswa yang belum tuntas di luar jam reguler, dengan ketentuan setiap membimbing 10 sampai dengan I S siswa dihargai 2 jam pelajaran (Depdiknas, 2004: 29), atau disesuaikan dengan situasi sekolah setempat. Sementara itu, siswa yang belum tuntas tetap dapat mengikuti pelajarannya dalam kelas reguler seperti biasa bersama-sama teman kelasnya yang telah tuntas sebelumnya.

BK dapat memberikan layanan siswa belum tuntas tersebut di sekolah atau di rumah, atau yang lain, dalam bentuk pengajaran kelas, outbound, atau yang lain. Yang terpenting adalah semua siswa yang belum tuntas tersebut menjalani "terapi" guru BK sedemikian hingga semuanya mencapai ketuntasan bersama, asalkan waktu pelaksanaan seiring sebagaimana kelas reguler. Setelah mendapatkan layanan layanan BK, siswa tersebut diuji oleh guru kelas/mata pelajaran menggunakan instrumen kelas reguler untuk menjamin bahwa siswa tersebut benar-benar tuntas kompetensi dasar tersebut. Hal ini dilakukan agar hasil remidi dapat dipertanggung jawabkan.

Jika strategi ini diimplementasikan, maka akan lebih menjamin seluruh siswa dalam kelas reguler mencapai ketuntasan kompetensi dasar sesuai kurikulum dalam waktu yang sama pula, meskipun karakteristik indivual mereka berbeda.

E. Penutup dan Simpulan

Tidak ada sebuah strategi tunggal yang paling efektif yang dapat dipilih clan digunakan guru dalam mengembangkan siswanya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi yang paling tepat adalah, bagaimana menghadirkan pembelajaran yang melayani siswa menuntaskan kompetensi dasar sesuai kurikulum yang sesuai dengan karakteristiknya sebagai seorang individu. Guru adalah orang yang paling tahu karakteristik siswanya, sehingga gurulah yang memiliki hak menentukan strategi apa yang guru pakai untuk mencapai ketuntasan siswanya.

Agar efektif clan relevan, maka guru dapat mengidentifikasi fungsi-fungsi untuk mencapai kompetensi dasarnya, selanjutnya menganalisis fungsi-fungsi itu terhadap peluang clan kekuatannya, yang meliputi karakteristik siswanya, kuantitas clan kualitas guru/BK, iklim akademik dalam kelas/sekolah, fasilitas kelas/sekolah, hubungan sekolah dengan masyarakat/lembaga lain, dan faktor pendukung lainnya. Manakala fungsi-fungsi tersebut terjadi kesesuaian antara indicator dan kenyataan di kelas sekarang, maka strategi yang akan dipilih guru dipercaya akan efektif.

Terdapat dua langkah besar yang harus ditempuh guru dalam menciptakan pembelajaran yang melayani karakteristik individual siswa untuk mencapai ketuntasan dasar bersama, yaitu mengembangkan perangkat pembejaran siswa (dimana dirancang dapat mengembangkan potensi karakteristik individu semua siswa dalam kelas reguler), dan mengimplementasikannya sesuai strategi yang dipilih. Yang terpenting yang dilakukan guru aqalah memperhatikan audience, beharvior, criteria and content, dan degree.

Selesai pembelajaran, siswa dilakukan penilaian dan evaluasi melalui tugas-tugas, portofolio, kuis, ulangan harian, atau ulangan blok. Melalui penilaian ini dapat ditentukan siswa manakah yang telah belum tuntas kompetensi dasar, yang selanjutnya diberikan program remidi atau siswa yang tuntas sehingga perlu dilakukan pengayaan atau bahkan aiperrbolehkan mengikuti kompetensi dasar selanjutnya.

Bagi siswa yang telah tuntas, maka program pengayaan dapat dilakukan oleh guru kelas reguler terhadap kompetensi dasar Kurikulum yang belum tuntas. Sementara bagi siswa yang belum tuntas, maka harus mengikuti program remidi yang dilakukan oleh guru BK yang dihksanakan terpisah dengan waktu pelajaran reguler, namun dilaksanakan seiring dengan alokasi waktu kelas reguler. Meskipun demikian, siswa yang belum tuntas tersebut tetap dapat mengikuti program Was reguler yang dilaksanakan guru kelas.

Jika strategi ini diimplementasikan, maka akan lebih menjamin seluruh siswa dalam kelas rcguler mencapai ketuntasan kompetensi dasar sesuai kurikulum dalam waktu yang sama pula, meskipun karakteristik indivual mereka berbeda.

 

Daftar Pustaka

Depdiknas. 2003. Pedoman Pembuatan Laporan Hasil Belajar Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Depdiknas. 2003. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas, 2004. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarja: Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Eggen, Paul; dan Kauchack, Donald P. 1996. Strategies For Teachers. Boston: Allyn and Bacon.

Hudgins, Bryce B; Phye, Gary D; Schau, Candace G; Theisen, Gary L; Ames, C; dan Ames R. 1985. Education Psychology. Ilionis: FE. Peacock Pub. Inc.

Lundgren, Linda. 1994. Cooperative Learning. New York: McGraw Hill.

Meier, Dave. 2001. The Accelerated Learning Hand Book. Jakarta: Mizan Media Utama. Nasution, S. 1999. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Parera, Jos Daniel. 2001. keterbahasaan dan Kepenulisan Bahasa Indonesia Untuk Penulis dan Penyunting Buku Pelajaran. Jakarta: Depdiknas

Slavin, Robert E. 1994. Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon

Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Boston: Allyn and Bacon.

Subari. 1990. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Surabaya: University Press.

Thomson, Merilyn; McLaughlin, Charles W; dan Smith, Richard G. 1995. Physical Science. New York: Macmillan/McGraw Hill.

Wartono; Kuswanto, Heru; Supardi, Imam ZA; Sudibyo, Elok; Koes H, Supriyono. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Sains Buku 4. Jakarta: bepdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Laanjutan Pertama.

 

 

 Back To Daftar Isi

KOLOM

MEWACANAKAN MUATAN LOKAL

Oleh. D. Zawawi Imron

Dalam buku bunga rampai "Berpikir Positif Suku-Suku Bangsa", Ir. Jero Wacik, SE, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, memberi kata pengantar, antara lain berbunyi, "……. Financial capital seberapa banyakpun tidak akan mampu membebaskan kita dari krisis ini tanpa kemauan yang luhur dari dalam diri kita sendiri, baik secara sendiri maupun secara bersama sebagai warga suatu bangsa. Tuntunan untuk mau berubah ke arah yang lebih baik itu sesungguhnya sudah tersedia dalam kearifan lokal yang ada dalam tradisi kita, yakni budaya berpikir positif, ia adalah wisdom capital yang sangat dibutuhkan saat ini. "

Kalau kita pahami secara cermat kata-kata Pak Menteri di atas, bisa ditarik kesimpulan tentang pentingnya kearifan lokal dalam upaya mengembangkan martabat dan jati diri bangsa kita di era globalisasi sekarang ini. Budaya meterialistik dan hedonistik akan membuat manusia menjadi selalu haus harta dan kekayaan. Lebih celaka lagi kalau dalam mengumpulkan kekayaan itu sampai melupakan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Tujuan menghalalkan segala cara. Halal dan haram tidak penting, yang penting kekayaan bertambah. Jika paham ini yang dikembangkan, akhirnya seperti yang disinyalir oleh Bung Hatta dan Mochtar Lubis, korupsi bisa menjadi kebudayaan. Hal inilah antara lain, yang membuat bangsa dan negara dirugikan, martabat bangsa jadi terpuruk.

Dalam keadaan seperti itu, nilai-nilai lokal yang digali dari tradisi, kemudian direvitalisasi – kalau kita merujuk pada ucapan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di atas – akan membawa bangsa kita pada identitas keindonesiaan yang menghormati nilai-nilai hidup dan menghormati kemanusiaan. Itulah sumbangan daerah (lokalitas) kepada kebudayaan Indonesia.

Baru-baru ini ada salah satu budaya daerah yang berupa sastra lokal yang telah diperhitungkan sebagai bagian dari kebudayaan Dunia. Cerita epos "Lagaligo" dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan) telah memberi inspirasi kepada Robert Wilson (sutradara terbaik di Dunia) untuk mementaskan nukilan naskah itu adalah bentuk karya teater. Pementasannya dilakukan di 16 kota besar di seluruh Dunia. Lagaligo adalah sastra tua berbahasa Bugis yang merupakan karya sastra terpanjang di Dunia, lebih panjang dari naskah Ramayana, Mahabrata dan Homerus. Meskipun karya itu berbahasa daerah, tapi dapat membawa keharuman bagi bangsa Indonesia dari sudut kebudayaan di luar negeri.

Dari kenyataan seperti inilah, kita dituntut untuk meneliti seluruh kekayaan budaya lokal kita untuk kita dokumentasikan. Kemudian kita kaji secara cermat dan selektif, barangkali masih terdapat nilai berharga untuk kita olah kembangkan secara kreatif sesuai dengan tuntutan zaman. Lokalitas itu bisa terdapat pada folklore, atau kearifan-kearifan yang masih segar untuk menjadi sumber inspirasi hidup pada masa kini.

Dalam adagium Madura ada ungkapan, "Mon ba'na etobi' sake' ajja' nobi'an oreng”, kalau kamu dicubit merasa sakit jangan mencubit orang lain. Kearifan di atas sebagai ajaran, agar kita merasakan derita orang lain sebagai derita seluruh kemanusiaan. Kesakitan manusia manapun adalah kesakitan kemanusiaan. Apresiasi kemanusiaan yang diajarkan nenek moyang itu memerlukan interpretasi dan interpretasi. Ungkapan seperti itu setelah dicermati secara positif ternyata bermuatan nilai "moral" sebagai kecerdasan emosional, dimana setiap orang dipandu untuk bisa mengendalikan diri, mengendalikan emosi dengan akal sehat dan hati nurani yang jernih.

Kearifan di atas kalau dipelajari tentu tidak kalah nilainya kalau dipersandingkan dengan Piagam Hak Asasi Manusia. Itu artinya, kearifan lokal yang ada di Madura dan yang ada di Indonesia lainnya, kalau dipilih nilai positifnya akan bisa menjadi landasan kehidupan era modern ini.

Pulau Madura, sebenarnya kaya sekali dengan nilai-nilai lokal yang bisa disebut kearifan tradisional. Baru-baru ini terbit buku "Parebasan ban Saloka Madura" yang disusun oleh almarhum Oemar Sastrodiwirjo (lahir di Sumenep 1892 – wafat di Pamekasan 1985) yang menghimpun sejumlah 1636 peribahasa.

Sebuah catatan penting, kearifan-kearifan lokal yang terdapat pada pribahasa atau folklore lainnya, kemudian tidak dikenal lagi dan hilang dari wawasan kehidupan, setelah bahasa daerah tidak diajarkan dengan intensif di sekolah. Kalaupun diajarkan, tidak diajarkan oleh guru yang punya keterampilan khusus dan ijazah resmi yang berkompeten untuk mengajarkan bahasa daerah. Di samping kurangnya buku berbahasa daerah yang diterbitkan.

Kebijaksanaan pemerintah pusat memberi alokasi waktu untuk bidang studi "muatan lokal" sudah saatnya dicanangkan dan ditindaklanjuti dengan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Pemerintah pusat sudah memberi isyarat lampu hijau agar anak-anak didik, termasuk di pulau Madura diperkenalkan dengan muatan lokal (termasuk bahasa daerah) agar putra-putra Madura bisa menangkap ruh kearifan Madura. Dengan demikian anak itu kembali mendapat suntikan spirit kemaduraan yang telah diolah secara kreatif untuk sesuai dengan tuntutan abad ke-21.

Nantinya, mereka tidak hanya menumpang lahir di Madura, tapi benar-benar menyusu dari kebudayaan Madura, berdenyut dengan detak jantung Madura, sehingga mereka dapat menyiapkan diri sebagai putra daerah yang dapat mengharumkan Madura, dan kemudian punya andil besar mencemerlangkan Indonesia. Memelihara kebudayaan Madura berarti memelihara kebudayaan Indonesia. Bukankah kebudayaan Nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah?

 

 

 

 Back To Daftar Isi

Sarung dan Cerita tentang Lokalitas yang (Di)Tunduk( kan)

Oleh A. Dardiri Zubairi**

Ini cerita tentang sarung. Seorang Kepala Sekolah (yang di) Negeri ( kan) dibuat "gelisah" oleh sarung ketika ia mengunjungi madrasah yang dikelola pesantren. Maklum, para guru Madrasah sampai saat ini masih banyak yang memakai sarung, pakaian yang mereka sebut "demokratis" itu. Tetapi dalam pandangan Kepala Sekolah (yang di) Negeri ( kan) itu, sarung diberi makna lain. Sarung dicitrakan sebagai pakaian yang "tidak disiplin", "tidak rapi", karena itu "kurang patut" dibawa mengajar ke dalam ruang kelas.

Begitu subversifkah sarung? Sebagai pakaian, sarung barangkali tak memiliki makna apa pun. Atau—dalam istilah Baso—sarung belum mengundang relasi. Berbeda ketika sarung dikenakan, maka akan muncul permainan makna di situ. Makna sebagai hasil dari kontruksi yang diam-diam me (di) lekat ( kan) dalam kepala tanpa pernah kita sadari. Misalnya, orang yang mengenakan sarung dianggap "tidak disiplin", seperti pandangan Kepala Sekolah tadi. Atau "kolot", "primitive", "kampungan" dan seterusnya seperti pandangan kebanyakan masyarakat urban.

Tetapi di tangan pemakainya, sarung menjadi (di) subversive ( kan) maknanya. Sarung, misalnya, diplesetkan "demokratis" karena memang enak untuk si "anugerah". Tetapi "demokratis" bisa juga bermakna perlawanan terhadap penyeragaman. Penyeragaman atas nama kuasa yang seringkali melakukan perselingkuhan dengan pengetahuan dan kebenaran. Dan itu ditunjukkan oleh guru madrasah yang tetap mengenakan sarung. Suatu bentuk resistensi dari "kaum sarungan" yang selama ini (di)marjinal( kan).

Sampai di sini kita membaca, sarung telah (di)masuk( kan) ke arena perebutan makna. Atau lebih tepatnya, ke arena kebudayaan sebagai arena kontestasi (Baso, 2003). Arena yang diperebutkan antara "yang Besar" yang selalu ingin mencaplok, dan perlawanan "yang kecil" yang tidak terima ingin dicaplok. Suatu perlawanan yang saya yakini tidak (bisa di)main-main( kan), karena langsung menusuk "jantung yang Besar". Apakah yang besar itu bernama Negara, Kapital, Rezim Kebenaran dan Pengetahuan, Rasionalitas (bukankah yang terahir ini selalu dirayakan orang yang (sok) modern?), atau dalam kasus sarung di atas, kepala sekolah (yang di)negeri( kan).

Nah! Berbicara tentang pendidikan nilai berbasis lokal (saya menyebutnya lokalitas lengkap dengan kearifan lokalnya) perlu menimba energi dari perlawanan sarung. Dalam pengertian ini, lokalitas tidak dimaknai sebagai keteguhan untuk meromantisir masa lalu. Bukan pula mengawetkan tradisi seperti menyimpan keris atau benda-benda kramat lainnya. Apalagi kebudayaan sebagai sebuah komoditas seperti pemilihan kacong-cebing, kerapan sapi, dll. biar mengundang para bule tertegun melihat eksotisme kebudayaan Madura(?).

Lokalitas juga tidak dimaknai seperti gagasan Diknas –yang setengah hati—dengan memasukkan muatan lokal (mulok) ke dalam kurikulum pendidikan. Mulok sekedar obyek dari desain kurikulum (yang di)nasional( kan) yang dibikin pejabat (yang di)pusat( kan). Atau makna ideologisnya, gagasan mulok sebenarnya merupakan tawanan bagaimana lokalitas bisa "sejalan" dengan "muatan nasional" (munas?). Suatu strategi "membiarkan lokalitas" dalam rangka untuk "mengontrol, mengawasi, dan akhirnya menundukkan". Kira-kira diknas akan bilang begini, "pelajaran bahasa Madura perlu diajarkan di sekolah, tetapi bahasa persatuan dan adiluhung itu, ya bahasa Indonesia".

Lokalitas, bagi saya, harus dimaknai lebih. Lokalitas harus ditempatkan sebagai siasat kebudayaan untuk keluar dari kungkungan "yang besar", yang ingin diberlakukan secara universal. Dalam konteks pendidikan nilai, tentu saja nilai yang hendak diuniversalkan. Suatu nilai yang dirancang "yang Besar" dengan kehendak untuk mendominasi dan menguasai. Persoalannya menjadi tidak sederhana, karena pendidikan saat ini masih mengabdi pada kepentingan "yang Besar" (terutama kapital(isme), yang dihaluskan oleh pejabat resmi pendidikan sebagai "pasar").

Logika capital(isme), by design, meniscayakan nilai-nilai yang bisa mengukuhkan cengkeramannya, yaitu nilai-nilai liberal(isme), suatu "ajaran" yang memberi ruang besar bagi kebebasan individu (baca: individu yang besar). Serahkan semuanya pada pasar, kerena pasar memiliki logika dan hukumnya sendiri. Ya, pada awalnya hanya menyentuh aspek ekonomi. Tetapi aspek lain (politik, kebudayaan (termasuk pendidikan), sosial, bahkan agama) hanya diderivasi dari nilai liberal(isme) ini.

Wacana tentang demokrasi, HAM, pluralisme, kesetaraan gender , wacana agama, dan seterusnya yang saat ini sering dikhotbahkan, jika kita amati, sebenarnya sudah diboncengi oleh nilai-nilai liberal. Sebuah wacana yang lepas dari pengalaman hidup "yang kecil", masyarakat yang selama ini (di)marginal( kan).

Bukankah pendidikan yang ber(di)kembang( kan) saat ini juga menjadi media pengarusutamaan nilai-nilai liberal(isme)? Termasuk gagasan tentang link and match yang dulu pernah muncul, atau sekarang "rezim " UNAS (Ujian Nasional) yang oleh pejabat resmi pendidikan dimaknai sebagai "menjaga standard mutu pendidikan nasional" sebenarnya bisa dibaca dari sudut pandang ini.

Lalu, dari mana kita mulai mendiskusikan lokalitas? Justru ketika lokalitas sendiri telah (di)tunduk( kan) oleh nilai-nilai liberal, modern, dan seterusnya yang ingin diuniversalkan? Bisakah lokalitas dihidupkan kembali hanya dengan kehendak untuk mengawetkan? Atau sekedar menjadi "dagangan" parawisata dengan menjual eksotisme kebudayaan lokal?

Sekali lagi lokalitas harus menimba energi dari perlawanan sarung (meski sarung juga pakaian (yang di)lokal( kan). Sarung yang selama ini dimarginalkan balik menyerang dari ranah margin. Sarung yang selama ini dipinggirkan balik melawan dari pinggir. Suatu bentuk perlawanan untuk merebut makna dalam ruang kebudayaan sebagai arena kontestasi. Sebagai tempat orang melakukan resistensi, negosiasi, dialog, bahkan konflik.

Ketika bicara tentang lokalitas dalam pengertian pendidikan nilai berbasis lokal, saya percaya kepada pesantren atau tepatnya pesantren—meminjam istilah Gus Dur— sebagai sub-kultur (karena ada juga pesantren yang hendak diuniversalkan). Pesantren telah banyak memberikan pelajaran bagaimana siasat kebudayaan dilakukan dalam rangka melawan "yang Besar". Sarung adalah contoh kecil dari perlawanan "yang kecil" dari Pesantren. Wallahu a'lam.

__________________________

Penulis mengabdi di Pondok Pesantren NASA (Nasy-atul Muta'allimin)

Gapura Timur Gapura Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi

RESENSI

MEMBACA KEMBALI

DUNIA PENDIDIKAN YANG SEMRAUT

Oleh. Ahmad Khotib

Judul Buku : Pendidikan Rusak-Rusakan

Penulis : Darmaningtyas

Penerbit : LkiS, Yogjakarta, Juli 2005

Tebal : xiv + 360 hlaman

 

Seperti yang telah lazim diyakini bahwa pendidikan merupakan tangga meraih kemajuan. Maju dan tidaknya peradaban suatu bangsa sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan yang dibangun dan berkembang di dalamnya. Hal ini berarti, tanpa adanya perbaikan pada sektor pendidikan, sangat mustahil predikat sebagai bangsa yang berkualitas dan berperadaban serta berkeadaban akan dapat diraih. Singkat kata, pendidikan adalah penopang kemajuan dan penggerak peradaban. Maka, rusaknya pendidikan yang ada, akan menjadi cermin tentang amburadulnya peradaban suatu bangsa.

Akan tetapi, idealisme semacam itu, tampaknya hanya menjadi jargon dan keinginan belaka. Karena dunia pendidikan yang seharusnya dapat diproses dan dijalankan dengan baik, masih belum menjadi sesuatu yang nyata. Setidaknya, dalam konteks bangsa In donesia, dunia pendidikan masih sangat jauh pnggang dari api. Pendidikan yang seyogyanya mampu menjadi media pembebasan dan pemberdayaan, ternyata tidak seideal harapan tersebut.

Setidaknya, gambaran itulah, yang dirasakan oleh Darmaninhtyas dalam buku dengan judul uniknya “Pendidikan Rusak-rusakan” ini. Dalam buku ini, Darmaningtyas mencoba memotret sisi lain pendidikan kita dari berbagai aspek, baik pada aspek anggaran, wacana reformasi pendidikan, guru, otonomi daerah, kurikulum, orientasi hingga makna penting pendidikan HAM yang harus diberikan sejak dini. Semua itu, oleh penulis buku ini dapat dibaca dan diapresiasi secara kritis dan sangat menarik. Sebab selain, mengurai tentang kerusakan-kerusakan pendidikan, penulis buku ini juga berusaha menelanjangi sisi-sisi tersembunyi dunia pendidikan. Menurutnya, salah satu yang menjadi akar rusaknya pendidikan dalam bangsa ini adalah masalah anggaran pendidikan yang masih semraut. Anggaran pendidikan yang sering dijadikan alasan untuk mengukur tinggi rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini, sudah tidak selayaknya untuk dipertahankan. Sebab, banyak hal yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan (bukan hanya sekedar) persoalan anggaran ; tetapi juga lemahnya manajerial keuangan, mentalitas korupsi yang sangat tinggi, kapitalisasi pendidikan serta hegemoni partai politik dan penguasa.

Selain itu dalam buku ini, juga disinggung tentang wacana reformasi pendidikan, sebagai pintu masuk dari perubahan paradigma, yang tampak masih berwajah muram. Padahal, jika dikaitkan dengan perkembangan kehidupan yang luar biasa, melakukan reformasi pendidikan menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Upaya mereformasi pendidikan dari wilayah wacana menuju aksi, jelas merupakan salah satu langkah dalam rangka memenuhi kebutuhan masa depan pendidikan, sehingga dapat sesuai dengan standar keinginan bahwa pendidikan harus memiliki orientasi dan arah gerak yang membanggakan, setidaknya dengan arah reformasi pendidikan tersebut, wajah pendidikan akan terlihat lebih baik dan tidak selalu terkatagorikan sebagai pendidikan yang masih setia menganut asumsi rusak-rusakan.

Pada sisi yang lain, dalam dunia pendidikan kita juga muncul konsep baru pengembangan pendidikan yang dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang diklaim sebagai bentuk reformasi sistem pendidikan, walaupun model tersebut, dalam prakteknya masih belum mampu menampakkan hasil yang maksimal. Bahkan dalam perkembagannya, malah menyisakan banyak persoalan baru yang membutuhkan jawaban. Karena konsep KBK, dengan anggaran yang luar biasa, tetapi dalam kenyataannya masih belum mampu diterapkan di lapangan, karena banyak guru yang masih belum bisa memahaminya secara utuh.

Di samping itu, penulis buku ini juga, menyinggung tentang istilah “isntan” yang masih kerapkali terjdi dalam dunia pendidikan kita. Istilah tersebut, semua hanya dikenal dalam dunia makanan dan minuman, tetapi dalam perkembangannya juga masuk dalam dunia pendidikan. Paradigma instan semacam ini, tentunya memiliki akibat yang sangat tidak baik dalam dunia pendidikan. Sehingga tidak heran kalau pada gilirannya, dunia pendidikan lebih dipahami bukan sebagai proses, tetapi sebagai produk yang menafikan makna sebuah proses. Para pelajar dan mahasiswa tidak lagi menempatkan ilmu pengetahuan sebagai proses, tetapi lebih sebagai produk. Mereka menempuh pendidikan dengan jiwa yang terteka, ingin segera selesai dan mendapatkan ijazah. Oleh karena itu, tidak kalau program smester pendek yang disediakan oleh beberapa perguruan tinggi, lebih minati oleh sebagian besar mahasiswa. Akibatnya, walaupun dengan IP yang tinggi, akan tetapi tidak memiliki kualitas keilmuan yang dapat diandalkan dengan ditopang oleh pengalaman yang memadai. Hal ini terjadi, karena ada siklus yang dipotong ; proses itu sendiri.

Selain hal tersebut, dunia pendidikan kita juga dihebohkan dengan persoalan jual beli gelar akademik. Dengan hanya bermodal Rp. 1 – 25 Juta, seorang sudah bisa menyandang gelar BA, MBA, MA, M.Sc dan Doktor. Yang aneh, rata-rata yang melakukan kebejatan pendidikan ini adalah para pejabat publik yang tidak percya diri dan hanya mengedepankan kepentingan jabatan.

Akibat kondisi pendidikan yang semraut tersebut, penulis buku ini mencoba menawarkan model pendidikan yang membebaskan. Model pendidikan yang dimaksud adalah model pendidikan seperti yang terkandung dalam UU No. 4 Tahun 1950. dengan daya analisis yang sangat tajam, penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa apa yang diterapkan dahuli belum tentu jelek untuk ditetap diterapkan hari ini ( hlm. 294). Di samping tawaran itu, pendidikanm HAM sejak dini, sangat penting juga dimasukkan ke dalam materi pelajaran, dalam keranka membentuk kesadaran yang utuh peserta didik.

Akhirnya, buku ini layak dibaca oleh siapapun, terutama bagi mereka yang memiliki posisi strategis dalam dunia pendidikan. Karena nilai lebih dari buku ini adalah gagasan yang dibangun merupakan hasil pembacaan yang luar biasa dan sangat peka dalam menelanjangi segala macam kekurangan yang masih dimiliki oleh dunia pendidikan kita. Dari kerangka itu, maka greget untuk menambal celah-celah yang masih terjadi dalam dunia pendidikan akan terus dilakukan.

 

 

 Back To Daftar Isi